House of Khilafah
seperti AS untuk menjajah negara-negara lain. “Sebelum membaca buku ini, saya sudah banyak menulis makalah, baik di seminar atau surat kabar bahwa utang luar negeri dipakai negara-negara pemberi utang untuk menjalankan politik imperialisme kepada negara lain,― tuturnya. Pinjaman luar negeri di mata Revrisond tidak lain sebagai akal bulus negara-negara besar kepada negara lain. Nawaitu memberikan utang kepada negara lain, menurutnya, bukan untuk membantu pembangunan, tapi untuk mengeruk kekayaan alam negara-negara lain, seperti Indonesia. “Tak ada ceritanya utang luar negeri untuk membantu pembangunan negara. Hal ini tak lain merupakan proses pembohongan publik,― ujarnya, prihatin dengan sikap pemerintah yang terus menerus mengandalkan utang asing untuk pembangunan infrastruktur negara. Bahkan, jika dilihat cara-caranya, politik imperialisme negara-negara besar, terutama AS, menurut Revrisond mirip dan sebangun dengan politik imperialisme yang dibangun kolonial Belanda saat menjajah Indonesia dulu. Spirit dan tujuannya sama, namun komoditasnya saja yang berbeda. “Dulu Belanda mau berdagang rempah-rempah, tapi ia mencoba menguras Indonesia dengan mengambil keuntungan dari bisnis rempah-rempah, seperti gula dan perkebunan. Tapi AS, sejak tahun 1960-an lebih berorientasi ke sumber daya alam,― katanya. Meski merasa gerah dengan politik kotor negara-negara besar, seperti AS, kepada negara-negara lain, namun ia meminta seluruh masyarakat jangan lengah terhadap orang-orang yang cenderung menjadi kaki tangan negara-negara besar yang beroperasi di Indonesia. Ia berpendapat, negara-negara besar tidak akan berhasil “menjajah― Indonesia jika tidak ada orang-orang yang mendukungnya di Indonesia. “Karena kerja sama itu dilakukan dengan berbagai cara, jadi pejabat-pejabat yang terlibat dalam pembuatan utang luar negeri perlu diwaspadai,― ujarnya keras mengritik para pengamat ekonomi yang menjadi kaki tangan asing di Indonesia. Pandangan Direktur Eksekutif Institut for Policy Studies (IPS) Fadli Zon nampaknya layak disimak. Menurutnya, munculnya buku karya Perkins ini menunjukkan bahwa teori konspirasi yang selama ini dianggap isapan jempol, khususnya di Indonesia, menjadi suatu kenyataan. “Ini bukan isapan jempol, tapi menjadi pembenaran terhadap teori konspirasi tersebut,― tegasnya, sambil menyatakan percaya bahwa peristiwa politik yang terjadi selama ini, khususnya di Indonesia tidak lepas dari peran serta negaranegara besar, seperti AS dalam rangka melanggengkan hegemoninya. Sebagai pengamat politik yang terus mencermati tren politik global, terbitnya buku karya John Perkins ini tentu saja menggembirakan, sekaligus membenarkan asumsinya selama ini. Berdasarkan pengamatannya selama ini, setiap proses perkembangan ekonomi negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, banyak sekali jebakannya, terutama jebakan utang hingga Indonesia tidak mampu membayar pinjaman. Itu membuat mereka mengambil proyek-proyek strategis. “Ini adalah traps (jebakan) yang mereka buat,― ujarnya. Meski Perkins menceritakan adanya tahapan pembunuhan bagi pemimpin yang tidak menaati kesepakatan dengan negara-negara besar, namun Fadli Zon berpendapat, di Indonesia policy mereka belum sampai ke tahap pembunuhan, apalagi invasi militer. Keengganan mereka melakukan pembunuhan dan invasi militer, menurut Fadli Zon, karena pemimpin Indonesia sangat kooperatif. Mereka tidak menjalankan politik konfrontatif dengan negara-negara besar. Bahkan dalam koridor internasional, sering kali Indonesia mengekor policy mereka. “Yang terjadi di Indonesia baru economic hit man. Negara-negara besar belum perlu menjalankan policy pembunuhan atau invasi militer. Namun hanya dengan tahap pertama itu, mereka sudah bisa mengeliminir peran para pemimpin Indonesia untuk tunduk pada kebijakan mereka,― katanya, prihatin dengan sikap para pemimpin Indonesia yang lembek dan menurut saja pada kemauan negara-negara besar dunia. Buah karya Perkins ini sebenarnya merupakan komplementer dari buku-buku karya penulis dunia lain, seperti Josep Stiglitz. Dalam berbagai bukunya, ekonom dunia ini acap kali menghantam kebijakan lembaga-lembaga keuangan dunia, seperti International Monetary Fund (IMF) dan World Bank yang dianggap tidak jujur saat melakukan kesepakatan dengan negara berkembang atau negara dunia ketiga. Dalam bukunya yang telah tersebar ke berbagai penjuru dunia tersebut, Stiglitz menilai bahwa kebijakan-kebijakan imperialisme negara-negara besar terhadap negara lain tidak lepas dari kebijakan IMF, World Bank dan lembaga keuangan dunia lainnya. Bahkan ia pun mengritik kebijakan AS yang menurutnya sering ikut campur kepentingan negara-negara lain. Sampai tulisan ini selesai dibuat, SABILI belum mendapatkan konfirmasi dari pihak Kedutaan Besar AS perihal buku ini. Saat SABILI mengajukan permohonan wawancara kepada Dubes AS B Lynn Pascoe, Atase Pers Kedubes AS Max Kwak mengirim surat yang isinya permohonan maaf bahwa Pascoe belum dapat memenuhi permohonan SABILI. Jika dicermati secara teliti, apa yang ditulis Perkins dalam bukunya tersebut, banyak kemiripannya dengan kasus yang terjadi di Indonesia. Tak cukup mengendalikan politik, AS juga merampas kekayaan Indonesia. Jika konspirasi itu yang sedang terjadi, maka bukan tidak mungkin saat ini Indonesia sedang berada di ambang kehancuran. Siapa pun dia, tentu saja tidak akan rela jika negaranya dijajah bangsa lain. Agar terlepas dari cengkeraman itu, bangsa Indonesia harus berani menolak utang negara-negara besar yang bertujuan menghancurkan Indonesia. Selain itu, masyarakat juga harus berani “membersihkanâ