Tempo Edisi Khusus Wiji Thukul, 13 - 19 Mei 2013 | Page 98
KETIKA POLITIK
PRAKTIS JADI
PILIHAN
T
IGA sahabat berbin-
98
cang serius di tepi pantai Brumbun, Tulungagung, Jawa Timur,
pada suatu siang 20 tahun silam. Moelyono, perupa asal
Tulungagung, selaku tuan rumah,
berbicara tentang pemerintah yang
makin represif. Dua tamunya, pelukis Semsar Siahaan dan Wiji Thukul, menimpali.
Moelyono berkisah tentang aksi
polisi membubarkan pameran seni
instalasi patung Marsinah beberapa
bulan sebelumnya. Pameran itu dia
gelar bersama jaringan buruh di Surabaya. Polisi menganggap pameran
di gedung Dewan Kesenian Surabaya
itu menghasut rakyat. Marsinah adalah buruh PT Catur Putra Surya yang
diculik lalu tewas dianiaya setelah
mogok kerja. Ia menjadi simbol penderitaan dan perlawanan buruh.
Bagi Moelyono, sebuah kegiatan
dibubarkan polisi adalah hal biasa.
Tapi, yang membuatnya kecewa,
tak ada seniman di Surabaya membelanya. ”Saya benar-benar merasa sendiri,” ujar pria 51 tahun itu ketika ditemui Tempo di rumahnya
pada 3 April lalu.
Peristiwa itu tak hanya menunjukkan sikap arogan pemerintah,
tapi juga memperlihatkan lemahnya jaringan dan solidaritas pekerja seni. Prihatin atas kejadian itu,
Semsar mengajak Thukul bertemu
dengan Moelyono. Dalam diskusi tersebut, Semsar mengusulkan
membuat jaringan kerja seniman,
menggalang kekuatan dan solida-
98 |
| 1 APRIL 2012
ritas sesama seniman untuk membendung tindakan represif pemerintah. ”Kami harus membentuk
organisasi kesenian supaya bisa saling membantu,” kata Moelyono.
Mereka sepakat membahas lebih
matang rencana itu pada pertemuan lanjutan di Sanggar Suka Banjir,
Kampung Kalangan, Solo—rumah
Thukul. Rencana itu baru terwujud
pada awal 1994. Pertemuan dilaksanakan di atas terpal plastik yang
digelar di lantai tanah rumah Thukul. Beberapa aktivis di luar kesenian ikut serta, di antaranya Daniel
Indra Kusuma, Raharjo Waluyo Jati,
Juli Eko Nugroho, dan Hilmar Farid.
Menurut Hilmar, pertemuan dilakukan dengan sangat hati-hati.
Agar warga tak curiga, pintu rumah
sengaja dibuka ketika diskusi berlangsung. Salah satu peserta bertugas mengawasi pintu bila sewaktuwaktu ada orang datang. Pertemuan berlangsung beberapa kali. Tempatnya berpindah-pindah. Penentuan lokasi dan waktu pertemuan
dilakukan dengan ekstra-waspada.
”Karena pertimbangan keamanan,
apalagi berkumpul di rumah Wiji
Thukul pasti mengundang curiga
warga,” ujarnya.
Pembahasan organisasi baru
berlangsung alot. Awalnya mereka
membahas pentingnya membentuk gerakan kebudayaan, yang bisa
memperkuat daya perlawanan rakyat. Semsar mengusulkan organisasi seniman yang berbicara tentang
isu-isu kerakyatan. Sebagian lainnya menginginkan organisasi kebu-
Di pantai
Brumbun,
Tulungagung,
1993.
Pameran
terakhir
yang diselenggarakan Jaker
sebelum
berafiliasi
dengan PRD,
1994.
dayaan mirip Lekra.
Perdebatan makin alot ketika
membahas format dan bentuk organisasi. Sebab, saat itu pemerintah
antipati pada pembentukan organisasi, apalagi yang dianggap membahayakan penguasa. Menurut Hilmar, perdebatan menyangkut bagaimana membuat organisasi yang
mampu mewakili aspirasi, tapi tetap bisa berjalan dengan baik di bawah pemerintahan represif.
Moelyono mengajukan konsep
organisasi jaringan kesenian yang
berbasis dan bekerja bersama rakyat. ”Mendudukkan setiap rakyat
sebagai subyek, sebagai pencipta
kebudayaan.”
Harapannya, kata dia, setiap seniman akan memiliki kantong-kantong komunitas di tempat tinggalnya. Semisal Moelyono yang membentuk Yayasan Seni Rupa Komunitas di Tulungagung atau Thukul dengan Sanggar Suka Banjir di Solo.
Kantong-kantong komunitas itulah
yang akan dijadikan bagian dari jaringan kesenian.
Akhirnya, mereka sepakat membuat gerakan kesenian dengan
membangun jaringan komunitas
kesenian rakyat. Namanya Jaringan Kesenian Rakyat (Jaker). Jaring-
DOK MOELYONO/HARY TRI WASONO, TEMPO/HARY TRI WASONO
Bersama sejumlah seniman progresif,
Wiji Thukul mendirikan Jaker. Pecah
saat dipaksakan jadi sayap politik PRD.