Tempo Edisi Khusus Wiji Thukul, 13 - 19 Mei 2013 | Page 97

-Wiji situ tampak kelebihan utama Thukul: dia sangat adaptif dan mampu mengadopsinya menjadi puisi,” Halim menjelaskan. Waktu berlalu. Hubungan Halim-Thukul kian akrab. Pada 19861987, Thukul dibantu Halim mulai mengamen puisi keliling kota di Jawa Tengah dan Jawa Barat, dari Solo, Yogyakarta, Semarang, Pekalongan, Tegal, Cirebon, hingga Bandung, serta Jakarta. Sekitar sebulan Thukul menggunakan jaringan Halim di kota-kota yang disinggahinya. ”Saya yang memberikan gagasan agar penyair yang mendatangi publik. Dan Thukul tertarik melakukan itu dengan cara mengamen puisi,” ujar Halim. Sebelum berkeliling, Halim dan Thukul menyiapkan selebaran puisi, yang disebut mereka sebagai puisi leaflet. Selebaran puisi itu terdiri atas enam sajak karya Thukul. Halim lupa judul-judul puisi yang sarat muatan kritik sosial itu. Yang pasti, puisi-puisi tersebut dicetak dalam satu lembar kertas kwarto menjadi satu leaflet enam muka. Mereka mencetak sebanyak 500 eksemplar. Puisi leaflet itu dibawa Thukul mengamen di berbagai kota. Setiap mengamen, ia menjual selebaran puisi itu seharga Rp 100, yang bisa digunakan untuk transportasi dan akomodasi. Dan Thukul tampaknya cukup sukses. Ketika pulang ke Solo, dia malah bisa membawa uang sekitar Rp 250 ribu. ”Uang itu kami pakai untuk mencetak ulang puisi leaflet. Thukul kemudian membawanya untuk mengamen ke Jawa Timur sekitar dua minggu,” kata Halim. ”Dia mengamen dari rumah makan hingga kampus-kampus.” Sejak mengamen puisi keliling Jawa, nama Thukul mulai berkibar. Dia juga mulai memiliki jaringan dan publik sendiri. Pada periode itulah Thukul mulai berbeda pemikiran dengan Lawu Warta, guru yang telah mendidik dan membesarkannya di Teater Jagat. Lawu tidak sepakat jika Thukul membawa puisi ke ranah politik praktis. ”Kesenian ditonton atau tidak, itu tidak penting. Yang penting bagaimana kita menjalankannya,” ujar Lawu. Thukul: Sedangkan Thukul bersikap sebaliknya. Menurut dia, kesenian itu harus ditonton, harus punya publik, dan mesti mampu membentuk kesadaran publik. Makanya dia mencurahkan hal itu dalam puisi-puisinya. Thukul menganggap sikap Lawu tersebut adalah sikap orang lemah dan tidak progresif. Sejak itu, Thukul tak lagi aktif di Jagat. Pada 1987, setelah menikah dengan Sipon, ia menumpang di rumah Halim, yang kebetulan mengontrak rumah tipe 21 di Kampung Halim H.D. Kalangan—masih masuk Kelurahan Jagalan. Selanjutnya Halim, Thukul, dan Sipon mendirikan Sanggar Suka Banjir di halaman belakang rumah mereka. Nama itu diambil dari lingkungan mereka yang memang sering banjir. ”Sekarang rumah itu sudah tidak ada, sudah jadi rumahrumah gedong. Daerah itu juga sudah tidak lagi banjir,” kata Halim. Di sanggar itu, Thukul mulai menulis esai dan artikel pendek. Tematema tulisannya tentang kesenian dan lingkungan. Halim membelikan mesin tik merek Olivetti. Biasanya Thukul membuat coretan di kertas dan kemudian mengetiknya. Di Sanggar Suka Banjir, kesadaran Thukul tentang pentingnya publik semakin terbangun. Banyak teman yang datang. Sanggar selalu ramai dan dijadikan tempat berkumpul para remaja di sekitarnya. ”Teman-teman jaringan kami juga banyak yang berkunjung ke sang- Siapa Thukul?- gar,” tutur Halim. ”Ketika datang, mereka berdiskusi dan tidak jarang memberikan workshop. Seperti Mulyono (perupa Tulungagung) datang mengajarkan cukil kayu.” Sebaliknya, Thukul sering diundang mengisi workshop. Ada sebuah workshop menarik di sebuah kampung di Kota Solo. Dalam workshop penulisan yang diikuti 20 pemuda itu, Thukul bertanya kepada para peserta, ”Sopo sing duwe pit montor (Siapa yang punya sepeda motor)?” Tidak ada yang menjawab. ”Sopo sing duwe pit (Siapa yang punya sepeda)?” Tiga orang angkat tangan. Selanjutnya, Thukul bertanya, ”Sopo sing duwe lambe, cangkem, ilat (Siapa yang punya bibir, mulut, dan lidah)?” Orang-orang bingung, lantas angkat tangan semua. Kemudian Thukul berkata dengan tegas, ”Yo iku paitanmu, modalmu sing paling penting. Wong mlarat mung duwe paitan cangkem, piye kowe nyuworo (Itulah modal kamu yang paling penting. Bagi orang miskin, mulut adalah modalnya, bagaimana mereka bersuara).” Halim terkesima melihat bagaimana Thukul memberikan workshop itu. ”Dia sungguh luar biasa,” katanya. Thukul dan Sanggar Suka Banjir makin terkenal. Tapi jaringan yang terbangun dan makin membanjirnya teman yang datang ke sanggar membuat aparat setempat gerah. ”Kami diawasi aparat, surat kami disabotase, dan kami sering dipanggil ke koramil hanya karena menerima tamu,” ujar Halim. Meski begitu, Thukul tak surut langkah. Di Suka Banjir, dia terus mengajari anak-anak kampung melukis, menulis puisi, berteater, dan menyanyi. Thukul terinspirasi konsep teater Augusto Boal dari Brasil, yang pada 1960-an menjadikan teater sebagai alat pengorganisasian dari kampung ke kampung. Sang penyair juga mempraktekkan kata-kata Bertolt Brecht, penyair dan dramawan kondang asal Jerman, yang sering dikutipnya, ”Setiap orang adalah seniman dan setiap tempat adalah panggung.” ● 1 APRIL 2012 | | 97 97