Tempo Edisi Khusus Wiji Thukul, 13 - 19 Mei 2013 | Page 96
-- PASCA-Pelo, pada sekitar 1986,
Thukul mulai akrab dengan Halim
H.D., aktivis kebudayaan jebolan
Fakultas Filsafat Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta. Halim dikenal
banyak memiliki sahabat seniman
di Yogya, Semarang, Surabaya, Malang, Bandung, dan Jakarta. Boleh
dibilang Halim-lah yang membuka
wawasan dan jaringan Thukul. Dia
juga berperan besar dalam mengorbitkan Thukul di kalangan jaringan
seniman. Dia menggagas dan membantu Thukul ngamen puisi keliling
Jawa pada 1986-1987.
Halim pertama kali berkenalan
dengan Thukul di Teater Jagat. Waktu itu dia sering mampir ke Jagat. Menurut Halim, yang paling menarik
dari perkenalan pertamanya dengan
Thukul adalah kemauan pria itu dalam membaca yang sangat luar bia-
96 |
| 1 APRIL 2012
sa. ”Setiap ketemu saya, dia selalu bilang, ‘Pak, kowe duwe buku ora? Aku
nyilih’ (Pak, kamu punya buku atau
tidak? Aku pinjam),” ujarnya.
Awalnya Halim tak menanggapi.
Dia berpikir paling-paling lelaki kurus itu hanya anak muda yang sok
gaya dengan selalu menanyakan
buku. ”Tapi Thukul terus mengejar
saya dan berkata bahwa dia serius
ingin meminjam buku,” kata Halim.
”Saya akhirnya mengundang dia
datang ke tempat saya.”
Di Solo, Halim bersama temannya punya penerbitan Jatayu. Di
salah satu ruangan kantor penerbitan itu, dia menyimpan berbagai
buku. Thukul datang ke sana dan
ingin meminjam buku teori sastra.
Karena tak punya, Halim kemudian
meminjamkan buku yang lain, dari
buku Tan Malaka, Sjahrir, Bung Hatta, hingga sejumlah terjemahan.
Setelah selesai membaca buku,
Thukul selalu mengajak Halim berdiskusi mengenai isi buku tersebut.
Melihat minat bacanya yang sangat
besar, Halim pun kemudian mencarikan tulisan-tulisan yang menarik
dari sejumlah majalah sastra dan
budaya, seperti Horison, Basis, dan
Prisma. ”Selain membaca, Thukul
gemar berdebat,” tutur Halim.
Halim juga mengamati Thukul makin produktif menulis puisi. Tematema puisinya pun mengalami pergeseran. Di awal-awal, saat masih ju-
Bekas
Sanggar
Teater
Jagat,
tempat Wiji
Thukul
pertama
kali
berproses
kesenian.
nior, tema puisi Thukul masih layaknya puisi remaja, seperti orang sedang kasmaran. Metaforanya masih
bulan dan embun. ”Puisinya tidak
terlalu membicarakan dirinya, apalagi lingkungannya.”
Saat Thukul membuat kumpulan Puisi Pelo, tema-temanya mulai mengalami perubahan. Puisinya
melebar dan dalam. Boleh jadi itu
karena kualitas bacaannya semakin
bagus. Dia juga mulai membicarakan masalah sosial. ”Pelo adalah fase
transisi dalam puisi awal Thukul ke
tahap selanjutnya,” kata Halim.
Setelah Pelo diterbitkan, boleh dibilang mulai ada lompatan dalam
penulisan Thukul. Dia banyak dipengaruhi naskah teater Jawa karya Bambang ”Kenthut” Widoyo
S.P. Ia juga dipengaruhi pemikiran
Maxim Gorky, Arief Budiman, dan
Romo Mangunwijaya. Thukul mulai
banyak memasukkan bahasa Jawa
dan bahasa lisan sehari-hari dalam
puisinya.
”Puisi-puisinya menjadi lugas
menggunakan bahasa sehari-hari.
Muatan sosial dan kritik sosial juga
sangat kental,” ujar Halim. Gagasan
puisi-puisi Thukul bisa muncul dari
mana saja. Puisi ”Tembok dan Bunga”, misalnya, gagasannya muncul dari sebuah diskusi mengenai
retakan tembok yang dari dalamnya kemudian muncul rumput dan
bunga yang menjulur keluar. ”Dari
TEMPO/AHMAD ROFIQ
96
dan pembacaan puisi seniman pemula. Menurut Siliyanto, seusai pementasan, biasanya digelar diskusi. Thukul aktif dalam setiap diskusi. ”Sebagai anak muda, ia yang paling menonjol,” katanya.
Pada 1985, PKJT mendapat mesin
cetak stensil baru yang bisa dimanfaatkan buat mencetak naskah teater ataupun puisi yang hendak dipentaskan. Saat itulah Thukul datang membawa sejumlah kertas
berisi coretan puisi dan minta supaya puisinya dicetak. Siliyanto setuju dan Thukul tak dipungut biaya.
”Ada sejumlah kumpulan puisi, tapi
yang saya in gat hanya Pelo. Yang
lain sudah lupa. Saya juga tidak punya dokumennya.”
Kumpulan Puisi Pelo dicetak sekitar 100 eksemplar. Buku kumpulan puisi stensilan itu dibawa Thukul ngamen puisi keliling Solo. ”Ada
yang dibagi-bagikan secara gratis. Sebagian lagi dia jual. Waktu itu
Thukul memang butuh uang,” ujar
Siliyanto mengenang.
Menurut Siliyanto, karakter puisi
Thukul dalam kumpulan Puisi Pelo
sudah lebih lugas dibanding puisipuisi awalnya yang pernah dibacakan di Radio PTPN. ”Di Pelo, dia sudah mengangkat kritik sosial, tapi
belum ada unsur politik praktisnya.”