Tempo Edisi Khusus Wiji Thukul, 13 - 19 Mei 2013 | Page 94
DITEMPA LAWU,
DIKELILINGKAN
HALIM
R
94
UMAH bercat putih
bernomor 5 itu terletak di sudut perempatan jalan Kampung Jagalan Tengah, Kelurahan Jagalan, Jebres, Solo. Halamannya
yang luas dirimbuni beragam jenis
tanaman, dari pohon mangga hingga bambu. Di bawah rimbun pepohonan itulah dulu Wiji Thukul bersama anggota Teater Jagat lainnya
biasa berlatih teater dan musik serta membaca puisi. ”Dulu kami biasa
berlatih di halaman ini,” kata Cempe Lawu Warta, pendiri Teater Jagat,
kepada Tempo, Maret lalu.
Dikelilingi pagar tembok setinggi
setengah meter, rumah bekas sanggar Teater Jagat yang berada di sebelah kampung tempat tinggal Thukul
itu juga memiliki ruang tamu cukup
luas, tempat berkumpul dan diskusi berkapasitas sekitar 20 orang. Di
ruangan itu Thukul kerap mengisi
waktunya dengan berkutat membaca buku, berdiskusi, ataupun membuat coretan puisi. ”Dia lebih sering
di sini dibanding di rumahnya. Ruangan ini tempat favoritnya. Dia
biasa membaca dan tidur di sini,”
ujar Lawu mengenang anak didiknya itu.
Teater Jagat—kependekan dari
Teater Jejibahan Agawe Genepe
Akal Tumindak—boleh dibilang sebagai kawah candradimuka bagi
proses kesenian dan kepenyairan
94 |
| 1 APRIL 2012
Thukul. Dia bergabung dengan teater itu pada 1981. Kala itu, Thukul
siswa kelas II Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI)—setingkat sekolah menengah atas—di Kepatihan, Solo. Awalnya ia hanya
ikut-ikutan. Namun, setahun berselang, dia berhenti sekolah dan memilih aktif di Jagat.
Lawu, yang pernah aktif di Bengkel Teater asuhan W.S. Rendra di
Yogyakarta pada 1970-an, mengajari Thukul berkesenian seperti anak-anak Jagat lainnya. Hanya,
Lawu menemui kesulitan karena
Thukul tidak bisa menyanyi. Di bidang musik, Thukul tidak peka. Dia
juga tidak bisa berteater dan menari meski di SMKI mengambil jurusan tari. Lalu di bidang olah vokal lebih sulit lagi karena Thukul sangat
pelo—tidak bisa melafalkan ”r” alias cadel.
Namun akhirnya Lawu menemukan bakat Thukul di bidang puisi. ”Dia suka membaca dan menulis. Ketika membaca tulisannya,
saya tahu dia punya bakat sebagai
pujangga. Karena itu, saya mengarahkan dia untuk membuat puisi,”
Lawu menjelaskan.
Lawu mendidik Thukul dengan
keras. Untuk mengurangi ”kepeloan” Thukul, ia melatih vokal dengan
memaksanya mengucap kata sejelas
dan sekeras mungkin. Perlahan dia
juga mengurangi persoalan psikolo-
gis Thukul, yang penakut dan tidak
percaya diri. ”Pada dasarnya Thukul
penakut dan minderan karena sejak
kecil mungkin jadi bahan olok-olok
teman-temannya,” katanya.
Untuk memupuk rasa percaya diri murid-muridnya, termasuk Thukul, Lawu mengajak mereka mengamen keliling Solo. Keluarmasuk kampung, mereka mengamen dengan membaca sajak-sajak
ciptaan mereka sendiri. Boleh dibilang Lawu berhasil menempa Thukul. Dia menjadikan Thukul yang
semula minderan menjadi memiliki
rasa percaya diri sangat besar dan
berani tampil di depan publik. Sejak
itu, Thukul tumbuh menjadi salah
satu anggota Jagat yang paling berani mengamen, meski bicaranya masih tetap pelo. Dia pergi mengamen
puisi hingga ke luar Kota Solo.
Sejak di Teater Jagat, Thukul mulai produktif membuat puisi. Dia
DOK. NASRI/AHMAD RAFIQ
Proses kesenian dan kepenyairan Wiji
Thukul ditempa oleh Lawu Warta di
Teater Jagat. Halim H.D. membantu Thukul
mengamen puisi untuk memperluas publik
audiensnya lewat jaringan kebudayaan
yang ia rintis.