Tempo Edisi Khusus Wiji Thukul, 13 - 19 Mei 2013 | Page 93

-Wiji Thukul: Siapa Thukul?- Sumpah Bambu Runcing Pardi 92 Bernas, Swadesi, Mutiara, hingga Nova ia kirimi puisi. Produktivitasnya mendorong M.T. Arifin, kepala biro Solo harian Masakini, yang belakangan jadi pengamat militer dan kolektor keris masyhur, meminta Thukul bekerja sebagai kontributor di Masakini. Thukul menyanggupi, tapi hanya betah setengah tahun menjadi kontributor koran yang berafiliasi ke Muhammadiyah itu. Pembayaran gaji yang byar-pet membuatnya berhenti. Ia sempat menclok ke majalah Adil, setelah itu sepenuhnya terjun ke politik praktis lewat penggalangan massa membela buruh. -- TAHUN 1986 muncul dari Thukul sebuah puisi yang sangat terkenal. Berjudul ”Peringatan”. Puisi ini menjadi bacaan wajib para demonstran. Kalimat terakhirnya: hanya ada satu kata: Lawan! menjadi sebuah ikon. Peringatan Jika rakyat pergi ketika penguasa pidato kita harus hati-hati barangkali mereka putus asa dan berbisik-bisik ketika membicarakan masalahnya sendiri penguasa harus waspada dan belajar mendengar Bila rakyat tidak berani mengeluh itu artinya sudah gawat dan bila omongan penguasa tidak boleh dibantah kebenaran pasti terancam Apabila usul ditolak tanpa ditimbang suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan dituduh subversif dan mengganggu keamanan maka hanya ada satu kata: lawan! Yang jarang diketahui adalah sajak ini sebenarnya kalimat akhirnya tak murni ide Wiji Thukul. Ia terpengaruh oleh sebuah puisi yang dibuat Pardi, temannya di teater Jagat, yang dibuat setahun sebelumnya. Pardi sehari-hari adalah tukang kebun. Puisi Pardi itu berjudul Sumpah Bambu Runcing. Pada sajak Pardi, kalimat Hanya satu kata: lawan, yang digunakan untuk sebuah sajak mengenai perjuangan melawan Belanda, oleh Thukul diambil untuk perjuangan buruh. Pardi dan Thukul kerap bersamasama menulis puisi di ruang tamu rumah Lawu itu. Kebiasaan Thukul meminta pendapat Pardi ketika menulis puisi, ”Eyang” Hartono, mantan anggota Teater Jagat, membenarkan hal itu. ”Di Jagat, Thukul memang paling dekat dengan Pardi. Pardi orang yang paling mempengaruhi kata-kata dan diksi puisi Thukul,” ujarnya. Saat ditemui Tempo, Pardi, yang kini berumur 57 tahun, mengatakan, ”Sebagai sesama seniman, kami saling mempengaruhi, itu wajar.” Pardi ingat, pada 1994, Thukul mengajaknya membuat buku kumpulan puisi bersama. ”Yuk, nggawe buku puisi bareng, puisimu lan puisiku wis kaya kakang-adi (ayo bikin kumpulan puisi bersama, puisimu dan puisiku sudah seperti kakak-adik),” ujar Pardi meniru ucapan Thukul. Tapi kala itu Pardi menolaknya. Thukul kemudian, pada 1994 itu, mengeluarkan sebuah kumpulan puisi sendiri berjudul ”Mencari Tanah Lapang”, yang diterbitkan Manus Amci, setebal 45 halaman. Banyak orang tak tahu, judul kumpulan puisi itu sesungguhnya juga diambil Thukul dari sebuah sajak milik Pardi berjudul ”Mencari Tanah Lapang”. Kepada Tempo, Pardi menunjukkan sajak ”Mencari Tanah Lapang”miliknya yang masih bertulisan tangan. Lalu di bawah pohon waru yang tumbuh pinggir jalan Anak-anak segera duduk sambil mengenyam lelah Desah nafas mereka bertautan di bawah angin senja Tapi mata mereka gelisah mencari tanah lapang. ● Kalau rakyat sembunyi 92 | | 1 APRIL 2012 TEMPO/AHMAD RAFIQ ...Ini penindasan yang tidak boleh kita biarkan Tapi jika bambu runcing kita hancur luluh Terbak "