Tempo Edisi Khusus Wiji Thukul, 13 - 19 Mei 2013 | Page 92
-Wiji
Thukul:
Siapa
Thukul?-
DOK:HALIM HADE/AHMAD RAFIQ , ROSSYLIN VAN DER BOSCH
91
Lawu. Ia menduga, meski terkesan
percaya diri, Thukul kerap minder
karena sejak kecil sering diledek perihal tubuh dan suaranya.
Saat aktif di situ, lelaki kerempeng kelahiran 26 Agustus 1963 itu
memutusk an berhenti sekolah. Wahyu ingat, Thukul memberi alasan
suatu pagi. ”Rot, bapak sudah tua,
sudah kurang tenaga narik becak.
Aku nyari duit saja, kamu saja sekolah sampai tamat,” kata Thukul
dalam bahasa Jawa. Perot adalah
panggilan kecil Wahyu. Setelah tak
bersekolah, Thukul bekerja sebagai
tukang pelitur di sebuah toko mebel dekat Keraton Solo. Tapi, saat ia
menjadi tukang pelitur, banyak target pelituran mebel yang tak bisa diselesaikan Thukul. Hari-hari Thukul malah sering dihabiskan di rumah Lawu untuk menulis puisi dan
berlatih teater. ”Menulis puisi itu
tak beda dengan beribadah di gereja, ada pengalaman religius,” katanya suatu ketika.
-- TIDAK banyak yang tahu bahwa
Membacakan
puisi di
Solo (kiri),
1988.
Bersama
para
seniman
dari Teater
Surakarta.
pada 1985 Thukul pernah mengikuti program jurusan seni topeng
di Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI), sekarang ISI Surakarta.
”Kala itu, untuk merintis jurusan
seni rupa, ASKI membuat program
Bengkel Kerja Seni Rupa (BKSR),
saya diajak Thukul untuk kuliah di
sana,” ujar Tedjo Lelono, 57 tahun,
tetangga Thukul.
Program BKSR dibuka selama
satu tahun. Karena jurusan percobaan, perekrutan siswa cukup longgar. ”Saya pakai ijazah SMA, Thukul pakai ijazah SMP,” katanya. Selain itu, semua siswa tidak dipungut
biaya. Thukul bisa ikut program tersebut karena kedekatannya dengan
sejumlah seniman dan pengelelola
ASKI kala itu.
Ada tiga jurusan yang ditawarkan, yaitu seni ukir, seni wayang,
dan seni topeng. Thukul dan Tedjo
memilih jurusan seni topeng. Jurusan topeng saat itu hanya memiliki
empat siswa, termasuk dia dan Thukul. Pelajaran diberikan setiap hari,
dari Senin hingga Sabtu.
Thukul termasuk salah satu sis-
wa yang paling bersemangat. ”Tiap
pagi, pukul 07.30, Thukul datang
menjemput saya di rumah. Selanjutnya kami berjalan kaki sekitar 30
menit ke kampus, saat itu di Sasono Mulyo,” katanya. Setahu Tedjo,
Thukul tidak pernah bolos sekolah. ”Bahkan ia mengikuti program
BKSR itu sampai selesai, satu tahun.
Sedangkan saya setengah tahun sudah keluar karena mesti kerja dan
menanggung dua anak.”
Di tempat itu, Thukul belajar teori dan praktek pembuatan topeng,
dari topeng tradisi hingga topeng
kontemporer. ”Ia paling senang
membuat topeng kontemporer karena tidak terlalu banyak aturan
dan pakem,” ujarnya. Hingga sekarang, sejumlah topeng karya Thukul masih tersimpan di ISI.
Thukul, sementara itu, terus tekun menulis. Pekerjaan sampingannya menjual koran membuatnya tahu alamat redaksi surat kabar
yang menampung puisi. Ke sanalah ia kirimkan puisi-puisinya. Kedaulatan Rakyat di Yogyakarta, Suara Merdeka di Semarang, Wawasan,
1 APRIL 2012 |
| 91