Tempo Edisi Khusus Wiji Thukul, 13 - 19 Mei 2013 | Page 91
BIJI YANG TUMBUH
DARI KOR KAPEL
Di masa remaja, dia Katolik yang aktif dalam
kegiatan gereja. Sajaknya banyak dipengaruhi
seorang tukang kebun bernama Pardi.
K
90
APEL
Sorogenen,
Solo. Kapel itu pada
suatu waktu pernah
menjadi tempat mengasyikkan bagi Wiji Thukul remaja. Wahyu Susilo, adik Thukul, ingat setiap Ahad pagi kakaknya
itu selalu mengajaknya bersembahyang di kapel Sorogenen, dekat rumah mereka di Solo, Jawa Tengah.
Wahyu dan Thukul terpaut empat
tahun. Pada 1977 itu, Thukul kelas I
SMP Negeri 8 Solo dan Wahyu murid
di SD Kanisius. Thukul aktif menjadi anggota kor kapel, dengan tempat
berlatih di aula SD Kanisius.
Wahyu, yang kini menjadi analis
kebijakan di Migrant Care, lembaga
advokasi tenaga kerja Indonesia di
luar negeri, mengenang, pada tiap
Ahad pagi itu, bila ke kapel untuk kebaktian, oleh kakaknya ia selalu disuruh membawa buku doa dan nyanyian Madah Bakti. Adapun Thukul malah menenteng novel serial silat karangan Asmaraman Sukowati, Koo
Ping Hoo. Wahyu kerap memprotes
karena harus membawa buku liturgi
tebal itu. ”Aku kan anggota kor, nyanyian sudah hafal semua,” selalu demikian kilah Thukul seperti dituturkan Wahyu.
Menurut Wahyu, kakaknya itu
memang hafal luar kepala semua
nyanyian yang dilagukan di kapel itu. Buku Koo Ping Hoo tersebut buat gaya-gayaan dia saja seolah-olah membawa buku doa. Selain menenteng Koo Ping Hoo, dalam ibadah Minggu pagi itu, Thukul
kerap membawa buku yang disewanya dari perpustakaan kampung.
”Jika tiba giliran menyanyi di kor,
Mas Thukul bangun dan berangkat
90 |
| 1 APRIL 2012
lebih pagi,” kata Wahyu.
Meski Wahyu disekolahkan di SD
Kanisius, orang tuanya bukan kalangan berpunya. Ayahnya, Kemis
Harjosuwito, adalah tukang becak,
dan ibunya, Sayem, kadang-kadang
berjualan ayam bumbu. Karena itu,
sebagai anak tertua, Thukul sudah
mencari uang sendiri untuk sekolah dan sekadar jajan dua adiknya
sejak kecil.
Pekerjaan Thukul semenjak SMP
itu macam-macam. Salah satunya
menjadi calo karcis bioskop Remaja Theater dan Kartika Theater.
Dua bioskop itu kini sudah berganti menjadi kantor kelurahan dan
pusat grosir Beteng, Solo. Jika jualan karcisnya untung, Thukul akan
menyisakan satu karcis untuk adiknya. Waktu itu semua orang di kampungnya ingin menonton aksi aktor silat Chen Kuan-tai, pemain film
laga seangkatan Bruce Lee.
Lulus dari SMP Negeri 8 Solo,
Thukul masuk ke Sekolah Menengah Karawitan Indonesia, Solo, jurusan tari. Menurut Wahyu, tak banyak orang tahu kakaknya itu cukup luwes jika menari. Sampai bersekolah di SMKI itu, Thukul masih
aktif di kapel. Suatu ketika, menjelang Natal, anak-anak kapel hendak
mementaskan teater bertema kelahiran Kristus. Oleh seorang pemain teater, Thukul diperkenalkan kepada Cempe Lawu Warta, anggota
Bengkel Teater yang diasuh penyair
W.S. Rendra. Thukul kemudian masuk menjadi anggota Teater Jagat.
Di situlah Lawu kemudian mentabalkan nama Thukul. Nama asli
Thukul sesungguhnya adalah Widji Widodo. Oleh Lawu, nama Wido-
do dihilangkan diganti dengan Thukul. Wiji Thukul artinya Biji Tumbuh. Lawu agaknya mengikuti tradisi di Bengkel Teater. Rendra sering memberi nama parapan kepada anggota bengkel teaternya.
Sawung Jabo, misalnya, bukan
nama asli. Nama aslinya Mochamad Johansyah. Juga Udin Mandarin, kata ”Mandarin” ditambahkan Rendra. Atau Kodok Ibnu Sukodok, yang nama aslinya Prawoto
Mangun Baskoro. Nama Lawu Warta sendiri adalah pemberian Rendra. Adapun Cempe (artinya anak
kambing) adalah nama panggilannya di kampung. ”Saya sendiri punya nama baptis Katolik, tapi tidak
saya pakai,” kata Lawu. Setelah bernama Wiji Thukul, Thukul sempat
menambahkan nama Wijaya di belakangnya menjadi Wiji Thukul Wijaya. Tapi kemudian ia membuangnya karena sering diledek teman-temannya sebagai nama borjuis.
Lawu keras menggembleng Thukul. Menurut dia, motorik tubuh
Thukul sangat buruk. ”Gerakan
menyabit rumput saja susah,” kata