Tempo Edisi Khusus Wiji Thukul, 13 - 19 Mei 2013 | Page 9
(1)
42
Thukul mungkin bukan penyair paling
cemerlang yang pernah kita miliki.
Sejarah Republik menunjukkan ia juga
bukan satu-satunya orang yang menjadi
korban penghilangan paksa. Tapi Thukul
adalah cerita penting dalam sejarah
Orde Baru yang tak patut diabaikan.
jalan keluar-masuk kampung menjajakan sajak-sajak ciptaan mereka.
Thukul mengikuti Lawu—meninggalkan sekolahnya di Jurusan Tari
Sekolah Menengah Karawitan Indonesia, Solo. Dari Halim, Thukul mengenal jaringan intelektual dan aktivis di luar Solo.
Awalnya, Thukul bukan penyair
42 |
| 1 APRIL 2012
radikal. Dalam wawancara dengan
Radio PTPN Rasitania Surakarta
pada 1983, Thukul—ketika itu 20 tahun—mengaku menyenangi sajaksajak Rendra, Emha Ainun Nadjib,
Budiman S. Hartoyo, dan Taufiq Ismail. Thukul bahkan menulis sajak
religius, ”Lagu Persetubuhan”:
Kalaupun angka aku pun angka
tak genap
tapi satu mana lengkap tanpa yang
pecah
maka aku pun rela jadi seperkian
dari keutuhan-Mu
sebab tak lengkap engkau tanpa
aku
sebab tak sempurna engkau tanpa
manusia.
Thukul berpendapat sajak harus
bertolak dari data. Menurut dia, kebanyakan sajak Indonesia tak bertolak dari pengamatan sosial. Sikap
seperti itu makin kuat setelah ia memimpin Jaker.
Di sana, ia bertemu dengan banyak seniman prodemokrasi lain,
seperti Moelyono dan Semsar Siahaan. Ia mengikuti rapat dan diskusi. Ia membaca Paulo Freire dan
Ivan Illich tentang pendidikan yang