Tempo Edisi Khusus Wiji Thukul, 13 - 19 Mei 2013 | Page 8
-Wiji
harto jatuh dan para aktivis kembali muncul ke permukaan, Thukul tetap raib.
Para aktivis menganggap Thukul dilindungi keluarga. Sebaliknya, sanak famili mengira Thukul
disembunyikan partai. PRD kemudian membentuk tim pelacak Thu-
kul. Pencarian juga dilakukan Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia, yang didirikan September 1998.
Orang yang secara terbuka mencium tanda-tanda hilangnya Thukul adalah Jaap Erkelens, peneliti Koninklijk Instituut voor Taal,
Land en Volkenkunde (KITLV), penerbit Belanda. Erkelens mendokumentasikan buletin-buletin karya
Thukul dan mengenalnya dengan
baik. Pada 18 Februari 2000, Erkelens mengirim surat pembaca ke
Kompas. Dalam surat itu, ia meminta pembaca yang mengetahui Thukul menghubunginya. Tapi tak ada
tanggapan.
Pada Maret 2000, secara resmi istri Thukul, Dyah Sujirah alias Sipon,
melapor ke Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan
(Kontras). Pencarian dilakukan. Hasilnya nihil. Kuat diduga Thukul sudah meninggal.
Untuk melacak Thukul, redaksi
Tempo menggelar sejumlah diskusi
dengan aktivis, korban penculikan,
mantan anggota Komisi Nasional
Hak Asasi Manusia, dan pegiat Kontras. Juga sahabat, keluarga Thukul,
dan beberapa buruh di Tangerang.
Tak lupa kami mewawancarai Jaap
Erkelens di Belanda. Semua buletin
yang pernah dibuat Thukul kami
kumpulkan.
Sejumlah wartawan kami terjunkan ke kota-kota yang pernah disinggahi Thukul. Di tiap kota, kami
menyisir setiap kemungkinan.
Kami mengecek gosip, misalnya,
bahwa di Kalimantan Thukul sempat kawin lagi–kabar yang ternyata
tak benar.
Banyak hal yang tak terduga dari
pelacakan ini. Tak banyak diketahui orang, misalnya, adik Thukul
adalah seorang rohaniwan di Solo.
Keberadaan sang adik membuka
spekulasi bahwa Thukul menguasai
jalur persembunyian ke seminari
Thukul:
Pengantar-
atau gereja di luar Jawa. Ada bahkan
yang menduga Thukul menyamar
sebagai koster di sebuah seminari,
bahkan diselundupkan ke gereja di
Filipina. Ada pula laporan yang menyebutkan Thukul pernah terlihat
di Pasar Agung, Depok, pada 2006.
Rumor lain menyebutkan ia muncul di Banten.
Cerita tentang mayat tak dikenal tak kami abaikan. Ada informasi, misalnya, ditemukan jasad mirip Thukul di hutan Tawangmangu,
Jawa Tengah. Ada pula spekulasi
tentang mayat-mayat yang dibuang
di Kepulauan Seribu—laporan yang
pernah ditelusuri Kontras.
-- BUKAN sekadar kabar kematian,
cerita tentang kepenyairannya juga
kami telusuri. Harus diakui, hanya
sedikit penyair yang penggalan sajaknya sangat ikonik. ”Hanya satu
kata: Lawan” adalah kalimat Thukul dari sajak berjudul ”Peringatan” yang mungkin sama terkenalnya dengan ”Aku ini binatang jalang” dari Chairil Anwar.
Dua orang yang mempengaruhi
kepenyairan Thukul adalah Cempe
Lawu Warta dan Halim H.D. Lawu
merupakan pemimpin Teater Jagat di Jagalan—sebuah kampung
tak jauh dari rumah Thukul di Solo.
Saat Thukul remaja, Lawu menjadi
pelindung Thukul jika sang penyair
diejek orang kampung.
Halim H.D. adalah aktivis kebudayaan dari Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Ia orang yang berinisiatif mengadakan diskusi besar
tentang sastra kontekstual di Solo
pada 1984. Dari Halim, Thukul banyak meminjam buku.
Di bawah tempaan Lawu, Thukul
belajar tentang ”ngamen puisi”. Bekas anggota Bengkel Teater Rendra
itu mengajak murid-muridnya di
Teater Jagat, termasuk Thukul, ber-
Penanggung jawab: Seno Joko Suyono, Purwanto Setiadi Kepala proyek: Philipus Parera, Widiarsi Agustina, Kurniawan, Bagja Hidayat Penulis: Seno Joko Suyono, Sunudyantoro,
Dian Yuliastuti, Muhammad Nafi, Sandy Indra Pratama, Anton Aprianto, Yuliawati, Dody Hidayat, Anton Septian, Agung Sedayu, Widiarsi Agustina, Mustafa Silalahi, Maria Rita Ida
Hasugian, Akbar Tri Kurniawan, Bagja Hidayat, Nurdin Kalim, Agoeng Wijaya, Kurniawan Penyumbang bahan: Agung Sedayu (Jakarta, Solo), Aryani Kristanti (Jakarta), Ahmad Rafiq
(Solo), Shinta Maharani (Yogyakarta), Sohirin (Salatiga), Olivia Lewi Pramesti (Magelang), Edy Faisol (Jepara), Hari Tri Warsono (Kediri), Candra Nugraha (Tasikmalaya), Joniansyah
(Tangerang), Luky Setyarini (Belanda) Penyunting: Purwanto Setiadi, Seno Joko Suyono, Arif Zulkifli, Budi Setyarso, Yosep Suprayogi, Bina Bektiati, Idrus F. Shahab, Philipus Parera,
Kurniawan, Sapto Yunus, Dody Hidayat, Widiarsi Agustina Periset foto: Jati Mahatmaji Digital imaging: Agustyawan Pradito Bahasa: Uu Suhardi, Sapto Nugroho, Iyan Bastian
Desain: Djunaedi (koordinator), Eko Punto Pambudi, Aji Yuliarto, Rizal Zu