Tempo Edisi Khusus Wiji Thukul, 13 - 19 Mei 2013 | Page 10
(2)
1. Wiji Thukul
(paling kanan)
dan Sipon
(paling kiri)
di Solo, 1989.
2. Saat
pendeklarasian
PRD, 22 Juli
1996.
3. Bersama
Arief Budiman,
awal 1990-an.
membebaskan. Ia mengikuti strategi Augusto Boal, seniman Brasil
yang menggunakan teater sebagai
alat menghancurkan budaya bisu–
budaya yang membuat rakyat tak
berani berbicara apa adanya.
Pada ketika yang lain, Thukul bisa
menjengkelkan. Pada forum yang
bukan diperuntukkan buat politik,
ia bertanya soal politik. Pernah di
sebuah acara 17-an, Thukul membacakan puisi tanpa henti. Warga
yang kesal menyeretnya turun dari
panggung.
Pada 1994, tatkala Tempo, Editor dan Detik dibredel, di Solo, Thukul membawa anak-anak Sanggar
Thukul:
Pengantar-
Suka Banjir memperingati malam
pembredelan. Pada Agustus 1995, ia
membuat perayaan 50 tahun Indonesia merdeka bersama anak-anak–
hajatan yang lalu digerebek polisi.
Pada tahun yang sama, Thukul
menggerakkan mogok besar-besaran di pabrik tekstil Sritex, Sukoharjo, Jawa Tengah. Lebih dari 15 ribu
buruh berhenti kerja. Polisi menyerang para demonstran. Thukul dihajar hingga setengah tuli dan nyaris tak bisa melihat.
Didera derita, Thukul makin radikal. Dalam sebuah sajak ia menyebut, apabila tak memiliki mesin ketik, tetes darah pun bisa digunakan
untuk menulis puisi.
Sajak-sajak terbaik Thukul diterbitkan dalam kumpulan Aku Ingin
Jadi Peluru. Di luar itu, ada sajak semasa pelarian yang ia serahkan kepada Stanley Adi Prasetyo, aktivis
yang belakangan menjadi komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Dalam edisi kali ini, atas seizin Sipon, istri Thukul, kami mempublikasikan puisi-puisi Thukul,
yang sebagian besar belum pernah
diterbitkan.
Pembaca, tak ada maksud kami
melebih-lebihkan Wiji Thukul. Sebagai korban, derita yang didera keluarga Thukul sama pahitnya dengan derita keluarga korban penculikan lain.
Tapi kami harus memilih. Thukul ditelusuri karena kami tak bisa
mengelak dari kelaziman jurnalistik: kesetiaan pada fokus dan kebutuhan untuk menetapkan angle.
Thukul adalah zoom-in yang kami
pakai untuk melihat konteks yang
lebih besar, yakni pelanggaran hak
asasi manusia di akhir rezim Orde
Baru.
Thukul mungkin bukan penyair
paling cemerlang yang pernah kita
miliki. Sejarah Republik menunjukkan ia juga bukan satu-satunya
orang yang menjadi korban penghilangan paksa. Tapi Thukul adalah
cerita penting dalam sejarah Orde
Baru yang tak patut diabaikan: seorang penyair yang sajak-sajaknya
menakutkan sebuah rezim dan kematiannya hingga kini jadi misteri.
●
(3)
1 APRIL 2012 |
| 43
43
DOK:ROSSYLIN VAN DER BOSCH, DOK:LEXY RAMBADETA, DOK:PRIBADI,
-Wiji