Tempo Edisi Khusus Wiji Thukul, 13 - 19 Mei 2013 | Page 88
-Wiji
Thukul:
Kolom-
ROBERTUS ROBET *
dalam setiap keluarga, masa lalu adalah apa yang telah terjadi, dan masa depan adalah fondasi imajinatif untuk melanjutkan diri bersama keluarga dan orang-orang yang dicintai. Namun, untuk membentuk masa depan, orang memerlukan kondisi kini yang stabil, kekinian yang berisi ruang kehidupan sehari-hari dan kelestarian relasi satu sama
lain. Penghilangan paksa meruntuhkan stabilitas kekinian
dan kelestarian relasi, akibatnya ia juga menghancurkan
imajinasi akan masa depan dari keluarga dan orang-orang
yang mencintai. Yang jahat dari penghilangan paksa adalah keluarga disiksa penantian dalam waktu yang tak terdefinisikan.
Dengan memaksa sebuah penantian panjang, penghilangan paksa mematahkan dimensi temporalitas dalam kehidupan yang dibangun oleh tiap orang. Dalam setiap keluarga, berlaku sebuah kalender pribadi. Kalender yang dirayakan dan dibagi bersama orang-orang yang dicintai; kapan ulang tahun, kapan menikah, kapan punya anak, serta kapan sakit bahkan kapan mati. Melalui kalender pribadi
itu setiap orang membangun pertalian yang intim dan ak-
Sungguh tepat apabila Deklarasi Perserikatan BangsaBangsa Tahun 1992 tentang Perlindungan Semua Orang dari
Tindakan Penghilangan Secara Paksa menyebutkan bahwa
penghilangan paksa adalah kejahatan yang berkelanjutan.
Maka ia tidak dibatasi oleh waktu, ia tidak bisa kedaluwarsa.
Selama belum diungkap dan diakui, selama itu pula ia tetap
sebagai kejahatan dan pelakunya setiap saat tetap bisa diancam untuk dipidanakan. Deklarasi PBB itu juga menegaskan bahwa pihak-pihak yang telah atau diduga telah melakukan tindakan penghilangan paksa tidak boleh diuntungkan oleh hukum amnesti tertentu atau tindakan-tindakan
sejenisnya.
Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak-hak Sipil dan
Politik, Indonesia juga telah meratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan. Dengan itu, semestinya sudah tidak ada
lagi halangan apa pun bagi Indonesia untuk meratifikasi Konvensi tentang Perlindungan untuk Semua Orang dari
Tindakan Penghilangan Paksa.
Dalam sebuah buku, seorang sahabat Wiji Thukul menuliskan kisah merebaknya beragam dongeng mengenai Wiji
87
Sesungguhnya suara itu bukan perampok
yang merayakan hartamu
ia ingin bicara
mengapa kaukokang senjata
dan gemetar ketika suara-suara itu
menuntut keadilan?
rab: satu sama lain bisa saling mengantisipasi. Dengan itu,
saling memberi bisa terjadi. Ketika seorang anggota keluarga hilang, kalender pribadi tiap anggota keluarga berantakan. Ketakpastian dan kebingungan yang simultan mengenai ke mana dan bagaimana si korban, membuat keluarga
sulit mengantisipasi relasi dan kebersamaannya lagi. Karena itu, dalam penghilangan paksa, bahkan informasi akhir
yang paling tragis mengenai kematiannya sungguh sangat
berharga bagi keluarga ”korban”. Persis karena informasi
itu memulihkan kembali bangunan kalender pr ibadi keluarga itu dengan ”si korban” sekaligus mengakhiri penantian panjang yang tak tertahankan.
Thukul. Ada yang mengira ia masih hidup, bersembunyi,
dan berkarya entah di mana. Seperti semua dongeng bahagia, dalam hati kecil, saya juga berharap dapat melihat kembali Wiji Thukul. Saya membayangkan apa kira-kira yang
akan ditulisnya, manakala menyaksikan jenderal-jenderal
penculik dari era Orde Soeharto disambut tepuk meriah, didampingi punggawa pengiring, sebagian teman lamanya
sendiri, siap ikut pemilu. Namun, bila Wiji Thukul tak kunjung kembali dan rasa pedih berkepanjangan, setidaknya
kita berharap bahwa ketakhadiran Wiji Thukul akan menjadi kutukan yang terus memburu para penculiknya.
*) DOSEN SOSIOLOGI UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
1 APRIL 2012 |
| 87