Tempo Edisi Khusus Wiji Thukul, 13 - 19 Mei 2013 | Page 87
WIJI THUKUL DAN KEJAHATAN
YANG BERKELANJUTAN
S
IARAN Pers Kontras Nomor 7 tiga
belas tahun yang lalu itu berbunyi: ”Wiji Thukul hilang pada sekitar Maret 1998 kami duga kuat berkaitan dengan aktivitas yang dilakukan oleh yang bersangkutan. Saat
itu bertepatan dengan peningkatan
operasi represif yang dilakukan oleh
rezim Orde Baru dalam upaya pembersihan aktivitas politik yang berlawanan....” Siaran pers itu
membuka lagi status kelam dari masa-masa ujung pergolakan politik menjelang jatuhnya Orde Soeharto sekaligus meresmikan status ironis dari penyair-pejuang Wiji Thukul: sebagai orang hilang.
Wiji Thukul, si penyair-pejuang yang hilang, lahir 26 Agustus 1963 di kampung buruh Sorogenen, Solo. Lulus SMP, ia
melanjutkan pendidikan di Jurusan Tari Sekolah Menengah
Karawitan Indonesia, tapi tidak tamat. Lepas dari sekolah,
Thukul mulai mencari hidup dengan berjualan koran dan
bekerja di perusahaan mebel sebagai tukang pelitur. Ia menulis puisi sejak SD dan berteater sejak SMP. Setelah berkeluarga, ia hidup dengan membantu istrinya usaha sablon.
Pada akhir 1980-an, puisinya tersebar di berbagai media.
Yang khas dari puisi Wiji Thukul adalah bahwa ia bukan
puisi tentang protes, melainkan protes itu sendiri. Karena
itu, puisinya gampang melebur dalam tiap momen pergolakan dan berbagai aksi protes. Puisinya adalah bagian dari
aksi, bukan mengenai aksi, bukan juga ”gaya” yang hendak
ditambah-tambahkan untuk memberi kesan ”estetis” terhadap suatu aksi. Karena itu, puisi Wiji Thukul hidup tanpa memerlukan pengenalan siapa seniman pengarangnya. Puisi itu
diketahui sebagai puisinya, tapi ia tidak pernah dipersepsikan sebagai ”tuan” atau ”majikan” dari puisi-puisi itu. Puisinya beredar, hidup ke mana-mana, mel