Tempo Edisi Khusus Wiji Thukul, 13 - 19 Mei 2013 | Page 32
LENYAP TANPA KODE
I
68
NI kenangan Dyah Sujirah alias Sipon bercakap-cakap dengan suaminya, Wiji Thukul,
untuk terakhir kalinya lewat
telepon. Hari itu, seingat Sipon, pertengahan Mei 1998. Kerusuhan pecah di Jakarta dan Solo.
Seorang aktivis Partai Rakyat Demokratik Solo tiba-tiba mengabarkan bahwa Thukul bakal menghubungi Sipon lewat telepon rumah
tetangga.
Thukul menanyakan kabar istri serta dua anaknya, Fitri Nganthi
Wani dan Fajar Merah. Setelah itu,
gantian Sipon memberondong Thukul. ”Saya tanya bagaimana kondisinya,” ujar Sipon ketika ditemui
pada akhir Maret lalu. Thukul menjawab ia baik-baik saja. Selanjutnya,
ia berkata, ”Aku ora neng endi-endi,
ora melu ngono-ngono kuwi.”
Menurut Sipon, suaminya mengaku berada di Jakarta dan tak ikut
menyulut kerusuhan. Tiga bulan
sebelumnya, pada Februari, Thukul juga mengabarkan berada di Ibu
Kota. Mulanya Sipon diminta Thukul menelepon ke sebuah nomor di
Tebet. Dalam pembicaraan, Thukul
menanyakan kabar Wani sekaligus
berwasiat: putrinya itu harus ikut
les bahasa Inggris.
Kawan-kawan Thukul di Partai
Rakyat Demokratik mengatakan
terakhir kali melihat Thukul sebelum peristiwa bom Tanah Tinggi
pada 18 Januari 1998.
Hari itu, bom meletup di unit 510
rumah susun Tanah Tinggi, Jakarta
Pusat. Kontrakan tersebut ditempati sejumlah aktivis PRD, antara lain
Agus Priyono. Polisi dan militer menuduh PRD menyiapkan bom untuk
mengacaukan Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat pada
Maret tahun itu—yang bakal memilih lagi Soeharto sebagai presiden.
68 |
| 1 APRIL 2012
Bom meledak sebelum waktunya. ”Anak-anak itu, para aktivis,
enggak begitu ahli merakit bom,
jadi kurang hati-hati. Salah sentuh,
meledak,” kata Prabowo Subianto, bekas Komandan Komando Pasukan Khusus, dalam wawancara di
majalah Panji edisi 27 Oktober 1999.
Setelah peristiwa 27 Juli 1996, Ketua Umum PRD Budiman Sudjatmiko masuk penjara, diikuti petinggi partai lainnya, seperti Petrus Haryanto, Jacobus Kurniawan, dan
Dita Indah Sari. Menurut Budiman,
kemudi partai selanjutnya dipegang Komite Pimpinan Pusat PRD,
yang bergerak di bawah tanah. Mereka mendapat angin setelah krisis
ekonomi menerpa Indonesia menjelang akhir 1997.
Meski di dalam penjara, Budiman
terus berhubungan dengan pengurus partai yang masih bebas. Menurut dia, sejak akhir 1997, mereka merancang gerakan ”people power” untuk menumbangkan Soeharto. Mereka sudah mempelajari gerakan rakyat di pelbagai negara, termasuk di Filipina, yang sukses menurunkan Marcos. Di antara pemimpin PRD bahkan ada yang
pernah bermukim di Filipina untuk
menimba ilmu pergerakan.
Menurut seorang sumber, selain memobilisasi rakyat, ada faksi di partai yang bermaksud membentuk ”sayap militer”. Mereka inilah yang kemudian belajar meracik
bom. Menurut Prabowo di majalah
Panji, ada 40 bom yang telah dirakit: 18 disita, sisanya sudah disebarkan. Menurut Kepala Kepolisian Resor Jakarta Pusat ketika itu, Kolonel
Imam Haryatna, di majalah Ummat,
polisi menyita sepuluh bom dari rumah susun Tanah Tinggi setelah letupan.
Budiman menyangkal tuduh-
an bahwa bom tersebut dibuat berdasarkan perintah organisasi. Kekerasan, kata dia, bukan kebijakan
partai. ”Kalaupun ada seperti yang
dituduhkan, itu kegiatan individu.”
Sejak itulah perburuan terhadap
pentolan PRD intensif. Bom Tanah
Tinggi dijadikan alasan rezim untuk
menyapu habis pemimpin gerakan.
Dari rumah susun itu diperoleh daftar nama aktivis. ”Untuk diselidiki,
bukan untuk diculik,” ia membela
diri. Faisol Reza, salah satu pemimpin partai setelah Budiman dipenjara, mengatakan Thukul juga dicari karena menjadi anggota Komite
Pimpinan Pusat PRD.
Demikianlah akhirnya Faisol
Reza dan Raharjo Waluyo Jati diculik Tim Mawar pada 12 Maret 1998.
Sehari kemudian giliran Nezar Patria, Aan Rusdiyanto, dan Mugiyanto. Berikutnya Andi Arief pada 28
Maret tahun itu. Herman Hendrawan, Suyat, dan Petrus Bima Anugerah juga diciduk. Baik di tempat penyekapan maupun di penjara Kepolisian Daerah Metro Jaya, Nezar dan
TEMPO/DWIANTO WIBOWO
Nasib Thukul simpang-siur setelah bom Tanah Tinggi.
Alasan rezim Soeharto menyapu habis aktivis.