Tempo Edisi Khusus Wiji Thukul, 13 - 19 Mei 2013 | Page 30
66
lens memiliki salinan beberapa edisi. ”Selain Ajang, ada buletin Suara
Kampung. Buletin itu terbitan Sanggar Suka Banjir, sanggar seni asuhan Wiji,” ujar Erkelens. Satu eksemplar Suara Kampung edisi Januari
1994 kini tersimpan di perpustakaan KITLV di Leiden, Belanda.
Erkelens juga memperlihatkan
fotokopi puisi Thukul untuk ulang
tahun ke-90 Profesor Dr W.F. Wertheim. ”Untung saja puisi ini ditulis
dengan tulisan tangan yang jelas.
Biasanya tulisan Thukul tidak mudah dibaca,” kata Erkelens. Thukul
diketahui memang pernah memperoleh penghargaan dari Yayasan Wertheim pada 1991. Wertheim
adalah orang Belanda yang ahli hukum, sosiolog, serta aktivis antikolonialisme dan antikapitalisme
yang mempunyai perhatian khusus
pada Asia Tenggara, terutama Indonesia.
-- KEPADA Tempo, Sipon mengaku
terakhir bertemu dengan Thukul
menjelang Natal 1997. Dia mengatakan mendapat pesan dari anak Partai Rakyat Demokratik (PRD)—tapi
ia tidak ingat siapa namanya—bahwa Thukul ingin bertemu. ”Saya
mesti membawa anak-anak,” katanya. ”Kami bertemu di Stasiun Tugu
(Yogyakarta). Waktu itu tepat ulang
tahun Fajar yang ketiga, 23 Desember 1997,” Sipon menambahkan.
Setelah itu, mereka pergi ke Parangtritis selama sepekan. ”Kami
menyewa penginapan. Setiap hari
dia bermain dengan anak-anaknya.
Tidak ada lagi perjumpaan kedua di P arangtritis dengan Thukul
menjelang atau setelah Lebaran 1998.
66 |
| 1 APRIL 2012
DOK. PRIBADI
Buletin
Ajang yang
menerbitkan
beberapa
puisi Wiji
Thukul.
Tampak sekali bahwa dia kangen,”
ujar Sipon mengenang.
Keinginan Thukul untuk pulang
ke Solo atau Yogyakarta menjelang
Natal 1997 itu juga didengar langsung oleh Linda Christanty, yang
saat itu menjabat Koordinator PRD
Teritori (Wilayah Kolektif) Bogor,
Tangerang, dan Bekasi. Linda ingat
ia ditelepon Thukul pada sekitar
November 1997. Setelah 27 Juli 1997,
Thukul memang dikoordinasikan
ke wilayah kolektif Linda di Tangerang. Segala hal harus dikoordinasikan dengan Linda.
Waktu itu Linda berada di posko
Sektor Mahasiswa, yakni sebuah rumah kos di Gang Salak, Jalan Margonda Raya, Depok, yang oleh sesama aktivis PRD disebut Red House.
Thukul pun menghubungi nomor
telepon di posko itu untuk berbicara dengan Linda.
”Linda, aku minta izin mau pulang ke Solo karena anakku akan
berulang tahun,” ujar Linda menirukan perkataan Thukul melalui telepon.
Keinginan Thukul untuk pulang
karena kangen berat kepada keluarganya juga didengar oleh aktivis
PRD yang lain, Margiyono. Tapi ia
agak lupa kapan kejadian itu, apakah Desember 1997 atau awal Januari 1998. Yang jelas, kata Megi, kini
koresponden Reporters Sans Frontieres, Thukul datang ke pooling (rumah kontrakan) PRD di rumah susun dekat bekas Bandar Udara Kemayoran, Jakarta Pusat. Thukul,
ujar dia, mengaku datang dari Tangerang. Selain Margiyono, di rusun itu tinggal Andi Arief (kemudian diculik) dan Petrus Bima Anugerah (juga diculik dan hilang sampai
kini). ”Kadang Daniel Indra Kusuma juga datang berkunjung ke situ,”
Margiyono menambahkan.
Thukul, menurut dia, saat itu hendak menelepon istrinya di Solo secara gratis. Margiyono ingat, di dekat
pooling itu ada telepon umum koin
yang sudah dimodifikasi sehingga