Tempo Edisi Khusus Wiji Thukul, 13 - 19 Mei 2013 | Page 26
D
62
I atas jembatan penyeberangan kawasan Jembatan
Besi, Grogol, Jakarta Barat, Lilik Hastuti menyebarkan puluhan selebaran. Bertajuk Mega-Bintang-Rakyat, selebaran itu berisi ajakan menggelar aksi melawan kediktatoran Orde Baru pimpinan Soeharto. ”Aku sempat
takut kalau tertangkap aparat,” kata Lilik, aktivis Partai Rakyat
Demokratik, dalam diskusi dengan Tempo, Januari lalu, mengenang peristiwa 16 tahun lampau itu.
Selebaran beredar sebelum dan setelah pemilihan umum 29
Mei 1997. Seruan Koalisi Mega-Bintang-Rakyat bertujuan membangun front yang lebih luas antara koalisi massa Partai Demokrasi Indonesia Megawati dan Partai Persatuan Pembangunan.
PRD mengusung Koalisi Mega-Bintang-Rakyat setelah gerakan
golput Pemilu 1997 menemui kebuntuan.
Para aktivis PRD menyebarkan selebaran ke berbagai pelosok Jakarta-Bogor-Tangerang-Bekasi dan kawasan di luarnya
hingga jutaan eksemplar. Kegiatan ini bukan tanpa risiko. Beberapa aktivis yang tertangkap tangan diseret ke pengadilan
dengan tuduhan penghinaan terhadap presiden.
Selain membagi-bagikan selebaran dalam ukuran separuh
folio, kata Lilik, aktivis PRD menyebarkan newsletter seukuran
majalah berjumlah delapan halaman. Newsletter ini biasanya dilipat secara khusus hingga menjadi seukuran sepuluh sentimeter. ”Sehingga mudah diselipin ke bawah pintu rumah orang,”
ujar Lilik. Newsletter ini disebarkan ke berbagai tempat orang
berkumpul atau tempat publik, seperti masjid dan sekolah.
Penyebaran selebaran merupakan bagian dari kegiatan propaganda gerakan bawah tanah. Kegiatan ini ditempuh PRD setelah partai itu dianggap sebagai dalang kerusuhan dalam perebutan kantor Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat.
Menteri Koordinator Politik dan
Keamanan Soesilo Soedarman
waktu itu menyebut PRD mirip Partai Komunis Indonesia. Istilah yang
digunakan dalam manifesto politik
mereka tertanggal 22 Juli 1996 dianggap sebagai duplikat partai terlarang
berlambang palu arit itu.
Pada September 1996, pemerintah
melarang dan membubarkan PRD.
Sejak itu, organisasi ini kacau. Ada
13 pemimpin dan kader PRD yang ditangkap serta diadili di Jakarta dan
Surabaya. ”Aktivis tiarap, terjadi demoralisasi dan ketakutan dengan
upaya represi aparat,” kata Waluyo
62 |
| 1 APRIL 2012
Jati, aktivis PRD.
Ketua PRD Budiman Sudjatmiko ditangkap pada Agustus
1996. Dia mengeluarkan instruksi kepada kader PRD agar terus
bergerak di bawah tanah. ”Kader-kader PRD yang bergerak di
sektor mahasiswa, buruh, tani, dan kaum miskin kota agar meneruskan perjuangan dengan cara mendirikan komite-komite
aksi tanpa mencantumkan nama PRD,” tutur Budiman dalam
buku Menolak Tunduk (1999).
Para aktivis PRD menyiasati keadaan dengan membentuk
Komite Pimpinan Pusat PRD, suatu kepemimpinan kolektif
yang bergerak di bawah tanah. KPP PRD dipimpin Andi Arief,
mantan Ketua Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi .
KPP PRD terdiri atas 15 orang, yang merupakan representasi
PRD di 15 kota, yakni Bandung, Surabaya, Semarang, Solo, Banda Aceh, Lampung, Medan, Makassar, Palu, Manado, Bali, Palembang, Mataram, dan Balikpapan. Beberapa anggota KPP PRD
adalah Nezar Patria, Waluyo Jati, Faisol Reza, Petrus Bima, Daniel Indra Kusuma, dan Wiji Thukul. ”Saat itu Thukul ke Kalimantan. Kepemimpinannya dianulir sementara,” kata Faisol Reza.
Anggota KPP kerap menggunakan nama samaran. Dalam jurnal Pembebasan, yang menjadi media komunikasi perjuangan,
bertebaran tulisan dari para anggota kolektif. Mereka menggunakan berbagai nama alias, misalnya Mirah Mahardika, Rizal
Ampera, dan Muhamad Ma’ruf.
Sebagian besar anggota KPP adalah aktivis yang datang dari
daerah saat kondisi pimpinan pusat kosong. Di antaranya, Faisol datang dari Solo dan Jati dari Surabaya. Konsolidasi pertama kali dilakukan pada Agustus 1996. Ketika itu, mereka mengadakan rapat maraton di tiga tempat: Jakarta, Bekasi Barat, dan
Bekasi Timur.
Pertemuan itu memutuskan tiga langkah yang diambil organisasi, yakni, pertama, membentuk
tim pengacara untuk pembebasan
Budiman dan kawan-kawan. Langkah kedua, penggalangan internasional, dan ketiga, melindungi teman-teman serta membangkitkan
semangat perjuangan lewat organisasi semilegal dan legal.
Kampanye internasional pun dijalankan bekerja sama dengan Xanana Gusmao dan Ramos Horta—
keduanya pemimpin perlawanan
di Timor Timur. Jaringan internasional PRD saat itu menggunakan
jaringan Xanana dan Horta di Lisabon, Portugal. Beberapa aktivis
yang mengurus jaringan internasional adalah Henry Kuok, Mugiyanto, dan Nico.
Untuk mengamankan aktivitas, beberapa sistem pengamanan diterapkan. Hubungan antara kolektif pusat dan daerah me-
TEMPO/MARIFKA WAHYU HIDAYAT
BERGERAK
DARI BAWAH TANAH