Tempo Edisi Khusus Wiji Thukul, 13 - 19 Mei 2013 | Page 24

Menjadi penghubung kegiatan organisasi massa di Tangerang. Wiji Thukul kerap membawa buku bacaan untuk teman-temannya. L 60 AHAN di belakang Kampung Kebon Jati, Karawaci, Tangerang, itu kini kosong dan menjadi tempat pembuangan sampah warga. Tapi di sana sebenarnya tersimpan jejak perjalanan Wiji Thukul. Enam belas tahun lalu, Thukul bersama Lukman Hakim, aktivis Partai Rakyat Demokratik, tinggal sekitar lima bulan di sebuah rumah kontrakan di atas lahan itu. ”Sudah empat tahun lalu rumahrumah kontrakan di sini dibongkar,” kata Djuarsih, 55 tahun, warga Kebon Jati RT 03 RW 01, pada awal Mei lalu. Rumah-rumah dibongkar karena berdiri di atas tanah milik seorang pengusaha. Lukman, 40 tahun, masih ingat di lahan itu berdiri rumah kontrakan dua lantai semipermanen. Bangunannya berlantai semen dengan dinding dari anyaman rotan. Di setiap lantai terdapat enam kamar. Mereka tinggal di kamar paling pojok lantai dua. ”Bila jendela dibuka,” Lukman mengenang, ”kami dapatkan pemandangan sawah.” Dia juga masih ingat biaya kontrak kamar sebulan Rp 150 ribu. Lukman tinggal di sana bersama istrinya, Lulu. Selain itu, terkadang tinggal bersama mereka aktivis pengorganisasian massa di Tangerang bernama Andi Abdul. Thukul tiba di rumah kontrakan itu sekitar Juli 1997, diantar Petrus Bima Anugerah, aktivis Partai Rakyat Demokratik yang diculik dan hilang pada 1998. Saat itu, Lukman dan Abdul baru saja mencukur habis rambut mereka. Keduanya per- 60 | | 1 APRIL 2012 nah membuat sumpah, bila tak ada aksi yang menggegerkan seperti 27 Juli 1996, mereka akan menggunduli kepala. Dalam pertemuan pertama itu, Thukul, kata Lukman mengulang perkataan Thukul, menceletuk, ”Wah, kalian itu gundul-gundul kabeh.” Ketika itu, Bima merupakan salah satu anggota Komite Pimpinan Pusat Partai Rakyat Demokratik atau KPP PRD. Komite ini dibentuk setelah ada larangan terhadap PRD akibat peristiwa 27 Juli 1996. Bima merangkap sebagai kurir atau penyampai informasi dari KPP PRD ke organisasi di bawahnya. Thukul ditempatkan di Tangerang atas permintaan Komite Pimpinan Pusat. Aktivis PRD, Linda Christanty, ketika itu menjadi koordinator wilayah Bogor, Tangerang, dan Bekasi. KPP PRD di Jakarta mengirimkan memo kepada Linda melalui Bima. ”Aku cuma diminta mengkoordinasi dia. Saat itu kan ada pekerjaan yang terbuka dan tertutup,” ujar Linda. Sejak masuk Tangerang, Thukul bergantian tugas dengan Bima. Bila Bima ke Jakarta, Thukul yang tinggal di Tangerang. ”Bergantian paling lama tiga hari lalu pergi, kemudian datang lagi,” kata Lukman. Mereka bertugas sebagai kurir yang menyampaikan informasi berupa strategi atau perkembangan politik terbaru dari KPP kepada Lukman dan kawan-kawan di Tangerang. Kurir juga meneruskan informasi mengenai rapat bersama, perkembangan kasus pimpinan PRD di pengadilan, dan konsolidasi partai. TEMPO/MARIFKA WAHYU HIDAYAT RUMAH KONTRAKAN DI KEBON JATI Semua pesan yang dibawa Thukul dan Bima dalam bentuk lisan, bukan berwujud memo tertulis. ”Tak pernah ada bahan yang diberikan tertulis untuk disimpan,” ujar Lukman, yang sekarang menjabat Ketua Umum Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia. Biasanya kurir membacakan bahan dari Komite Pimpinan Pusat yang ditandatangani Mirah Mahardika. ”Setelah dibacakan informasinya, kertasnya dimusnahkan,” kata Lukman. Selain Thukul dan Bima, Abdul membantu tugas kurir. Dia menjadi penghubung ke organ-organ di bawah bila akan ada rapat. ”Saya yang biasa mengirim pemberitahuan rapat lewat pager,” ujar Abdul. Setiap kali berkunjung ke rumah kontrakan, Thukul kerap membawa buku. Temanya beragam, tak hanya dari kaum kiri. ”Juga kamus filsafat dan karya sastra terjemahan,” kata Lukman. Peninggalan buku-buku Thukul tersimpan di rumah Lukman, berjumlah sekitar 50 buah. Abdul sangat terkesan oleh perlakuan Thukul terhadap buku. Thukul pernah memarahi Abdul karena menggunakan buku sebagai tatakan untuk mangkuk mi instannya. ”Jangan sekali-kali menggunakan buku buat tatakan. Itu karya manusia yang harus dihargai,” ujarnya. Bukan hanya buku, koran pun tak boleh digunakan sebagai alas. Thukul tak pernah terlibat dalam pengorganisasian massa seperti yang dilakukan Lukman dan Abdul. ”Setiap kali dia datang, di malam hari, kami berdiskusi tentang buruh dan perkembangan politik,” kata Abdul. Biasanya Thukul datang berkemeja, memakai ”celana bahan”, dan mengenak an topi. ”Tidak sekadar menutupi wajah, topi diperlukan untuk menghindari panas, karena kami sering jalan kaki,” ujar Abdul. Thukul selalu membawa tas yang terbuat dari kantong terigu berwarna putih. Di dalam tas terdapat buku, pakaian, dan kacamata baca. Sebelum tidur, Thukul menyempatkan diri membaca buku yang diba-