Tempo Edisi Khusus Wiji Thukul, 13 - 19 Mei 2013 | Page 23
TEMPO/DWIANTO WIBOWO, TEMPO/YOSEP ARKIAN (WAHYU)
-Wiji
setahun lebih tak berjumpa karena
Thukul harus bersembunyi dari kejaran pihak militer. ”Badannya kelihatan kurus,” ujar Wahyu.
Menurut Wahyu, dalam pertemuan itu, Thukul menanyakan
kondisi istri dan anaknya di Solo,
Jawa Tengah. Sejak dievakuasi ke
Kalimantan, Thukul sama sekali
tidak sempat bertemu dengan keluarganya. Setelah Wahyu menceritakan keluarga di Solo baik-baik
saja, Thukul merasa lega. Ketika ditanya soal aktivitas di Tangerang, Thukul mengatakan sedang
mengorganisasi buruh dan tukang
becak di kota itu.
Pertemuan kedua dengan Thukul, ujar Wahyu, terjadi di rumah
kosnya di kawasan Pos Pengumben, Permata Hijau, Jakarta, sekitar
Agustus 1997. Dalam kurun itu, Thukul juga pernah dua kali meminta
uang kepadanya, melalui telepon.
Permintaan pertama Rp 150 ribu
dan yang kedua Rp 100 ribu. Uang
itu, kata dia, diminta dikirim ke nomor rekening teman sesama aktivis
di Partai Rakyat Demokratik.
”Setelah pertemuan kedua itu,
Rumah
makan
Bundoaji
di Jalan
Matraman
Raya,
Jakarta
Timur.
Wahyu
Susilo
(bawah).
saya tidak pernah ketemu lagi dengannya,” ujar Wahyu. ”Hanya, dia
beberapa kali menelepon saya. Setelah itu, tak pernah lagi.”
Lilik Hastuti, juga bekas aktivis
Partai Rakyat Demokratik, mengaku sempat bertemu dengan Thukul selepas dia pulang dari Kalimantan. Ketika itu, pada Agustus
1997, kata Lilik, ada pertemuan ratusan aktivis partai ini di suite room
Hotel Central, Jakarta Timur, untuk
merumuskan perubahan partai.
Karena saat itu aktivis Partai Rakyat
Demokratik tengah diburu, mereka
harus menyulap penampilan dalam
pertemuan, termasuk Thukul.
”Yang laki-laki pakai jas, yang perempuan pakai blazer, semuanya
pinjaman,” kata Lilik. ”Tapi mukanya agraris, karena tak dandan,” Lilik terkekeh.
Suite room, ujar Lilik, dipilih karena ruangannya besar dan dianggap
aman. Kendati perhelatan berlangsung di hotel, karena dana tak mencukupi, peserta tetap disuguhi nasi
bungkus. Itu pun dibawa dari luar
oleh kurir, menggunakan ransel besar. Karena tertutup, ruangan keti-
”Ngapain kamu, orang lain menderita, kamu
mewah sekali. Priayi sekali kamu.”
Thukul:
Pelarian-
ka itu pun pengap oleh asap rokok
peserta rapat.
Saking ketatnya menjaga orang
luar, termasuk pelayan hotel, agar
tak masuk ke ruangan, peserta terpaksa membuat kopi dengan air dingin. Dalam pertemuan itu, kata Lilik, Thukul tak banyak bicara. Tapi
a F