Tempo Edisi Khusus Wiji Thukul, 13 - 19 Mei 2013 | Page 21
SI PENULIS PAMFLET
Sempat menyepi ke Kalimantan, Wiji Thukul
akhirnya kembali ke Jakarta. Para penculik aktivis
mengenalnya sebagai penulis pamflet.
56
P
ADA sebuah jalan buntu, Margiyono celingukan. Ia berusaha mengingat dan memastikan sesuatu. Pandangan matanya tertuju
pada sebuah rumah di ujung jalan
itu. Mantan aktivis Partai Rakyat
Demokratik itu berdiri mematung
beberapa saat. ”Ini rumahnya dulu.
Di belakang itu ada pohon rambutan, saya ingat,” ujarnya.
Tiga pekan lalu, ia membawa
Tempo melongok ke sebuah rumah
persinggahan para aktivis. Rumah
di kompleks Pondok Pekayon Indah, Kota Bekasi, itu dulu dikontrak
salah seorang pegiat PRD, Daniel Indra Kusuma. Di rumah itulah Margiyono pernah tinggal beberapa
saat dengan Wiji Thukul, kawan seperjuangannya. Waktu itu, Thukul
tiba-tiba muncul diantar salah seorang aktivis PRD, Web Warouw, ke
rumah kontrakan tersebut setelah
lama menghilang.
”Pada saat bertemu, kalau tak salah Februari atau Maret 1997, Thukul bercerita bahwa selama ini dia
bersembunyi di Kalimantan,” kata
Margiyono, yang akrab disapa Megi
56 |
| 1 APRIL 2012
oleh kawan-kawannya.
Pada masa itu, situasi Jakarta sedang panas. Hiruk-pikuk gerakan politik bernama Mega-Bintang
muncul sebelum masa kampanye
Pemilihan Umum 1997 resmi bergulir. Ini masa ketika pemilihan umum
masih sangat tertutup. PRD mengupayakan persatuan oposisi MegaBintang dan rakyat. Ini merupakan
upaya merintis kerja sama di antara
unsur-unsur yang menentang Orde
Baru kala itu, terutama kelompok
pendukung Megawati Soekarnoputri, yang baru digusur dari kursi
Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia, dan Partai Persatuan Pembangunan. Gerakan ini menggelinding dan membuat risau penguasa
Orde Baru.
Margiyono berkisah, para aktivis berbagi ruangan di rumah dengan dua kamar tidur di Bekasi itu.
Satu kamar digunakan Daniel bersama keluarganya, sedangkan dia
dan Thukul menempati kamar lain.
Kalau gerah tidur di kasur, mereka
pindah ke ruang tengah. Begitu saja
yang mereka lakukan selama dua
bulan itu. Beruntung, rumah kon-
Wiji Thukul dalam
sebuah
pementasan
puisi di
Jakarta,
1990an.
Thukul:
Pelarian-
trakan itu lolos dari radar aparat.
Suparli, pemuka warga setempat,
membenarkan rumah itu dulu sempat F