Tempo Edisi Khusus Wiji Thukul, 13 - 19 Mei 2013 | Page 20

54 Baru sekitar pukul 10 dia pulang. Tangannya menentang jajanan pasar, mie tiaw, atau taoge. ”Dia suka masak sendiri. Mungkin tidak suka masakan saya,” Ida berseloroh. Pasar Sentral merupakan tempat singgah kesukaan Thukul. Pasar tradisional di tengah Kota Pontianak itu hingga kini ramai dikunjungi orang. Bangunan tua yang sebagian beratap asbes itu merupakan satu blok dari Kawasan Pasar Parit Besar. Di sini terdapat seribuan los pedagang, di antaranya pakaian bekas impor yang berasal dari Singapura, Malaysia, dan Cina. Ada juga dari Amerika. Pernah satu kali Paul membeli baju. Rencananya akan dikirim ke Solo untuk istrinya, Sipon. Begitu dibuka, lengan baju itu sobek. ”Dia lalu membuat puisi ’Baju Bekas yang Lengannya Robek’,” Martin berkisah tentang asbabul puisi tersebut. Selama bersama keluarga ini, Thukul membuat belasan puisi. Temanya mengenai kehidupan sosial masyarakat Dayak. Dia memiliki meja dan kursi kerja di kamarnya. Karya tersebut ditulis dalam lembaran-lembaran kertas. Selain ”Baju Bekas”, satu judul puisi lain yang masih diingat Martin adalah ”Bapak Pasti Kembali”. Kelihatannya ini ditujukan untuk dua anaknya, terutama Fitri Nganthi Wani. ”Kumpulan puisinya ada satu bundel, lebih dari sepuluh judul,” kata Martin. Thukul biasanya menyimpan lem- 54 | | 1 APRIL 2012 baran kertas itu di meja. Ada pula yang diselipkan di bawahnya. Bersama poster dan slogan perjuangan, kadang ia menempelkan puisinya di tembok kamar. Thukul melengkapi hobi dekorasi ini dengan membuat kliping majalah Tempo bekas yang dibeli dari pasar loak. Puisi tulisan tangan itu lalu disalin ke komputer. Untuk pekerjaan ini, Thukul mesti ke rumah Thomas. Dia bisa berjam-jam di depan komputer versi IBM dengan disket besar itu. Selain menulis puisi, Thukul membuat dua cerpen: ”Kegelapan” dan ”Telunjuk Sakti”. Karya ini bercerita tentang kehidupan keluarga Martin dan gejolak sosial masyarakat Dayak. Menggunakan nama Aloysius Sumedi, ia mengunggah dua cerpen itu ke dunia maya oleh Komite Nasional Perjuangan Demokrasi. ”Sayang, puisipuisi itu hilang ketika kami pindah rumah,” ujar Martin. Untuk membuat puisi ini, Thukul mengurung diri di kamar. Bahkan kadang sampai beberapa hari. Dia keluar hanya untuk makan atau buang air. Pernah sesekali Martin mengintip dari lubang kunci, Thukul sedang meditasi, senam melonggarkan otot, atau menulis. Sekali waktu, Thukul diajak ke Kampung Bali, Kabupaten Sanggau, sekitar 180 kilometer dari Pontianak. Itu bertepatan dengan malam Natal 1996. Di kampung keluarga besar Ida tersebut, dia tinggal dua ma- Rumah yang sempat ditinggali Wiji Thukul, di Kompleks Korpri Sungai Raya Dalam, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat. Thukul: Pelarian- lam. Di sana dia diajak ke hutan karet. Pulangnya, kakak sulung mereka bingung mendengar ocehan Thukul tentang hal-hal yang terdengar ”wah”, yaitu kelas masyarakat. ”Cerdas sekali Paul si tukang bakso ini.” Nah, kebiasaan mereka sewaktu malam adalah bermain kartu remi. Dalam permainan itu, Thukul dan Ida selalu berkolaborasi menyerang Martin. ”Thukul ini bahasanya sangat kuat, istriku ya jadi dekat,” kata Martin. ”Dia sangat sayang kepada istriku. Dan istriku juga sangat senang diskusi bersama dia, terutama tentang merawat bayi ataupun pendidikan anak.” Mungkin karena hal ini, ketika Thukul pulang ke Solo sekitar tiga pekan pada pertengahan Januari 1997, dia minta Sipon membuatkan pakaian bayi. Kehidupan kembali normal ketika Thukul tiba lagi di Pontianak. Namun Ida merasa masa itu begitu cepat berlalu. Dua bulan kemudian, Bang Paul-nya mohon diri kembali ke Jakarta selama waktu yang belum ditentukan. ”Tak pernah bertemu lagi setelah itu,” katanya. Sebelum melangkah ke Ibu Kota, Thukul sempat mendatangi Thomas. Dia mengadu kehilangan dompet. Yang lebih mengganggu, kartu tanda pengenalnya pun lenyap. ”Mas, saya minta dibuatkan KTP lagi,” ujar Thukul. Akhirnya, dia mendapat nama baru: Martinus Martin. Pekerjaan: rohaniwan. Pada akhir Maret 1997, Thukul berangkat ke Jakarta. Dari Jakarta, dia pernah dua kali mengirim pakaian jins untuk Martin. Pertama pada akhir Maret, kedua pada pertengahan April. Alamat pengirimnya: Refi, Jakarta. Seorang kurir bernama Buang mengantarkan kiriman tersebut. Di paket itu, Thukul menempelkan sepucuk surat. ”Ini untuk kau jual buat menambah dapur,” tulis Thukul dalam surat itu. Martin menulis surat balasan yang ditandatangani berdua dengan Ida. Namun surat ini tak pernah mendapat jawaban. Buang, yang beberapa kali dicari ke kapal pengangkut minyak di dermaga, juga tak pernah terlihat. ”Saya kangen Bang Paul,” kata Ida. ● FOTO-FOTO: TEMPO/MUHAMMAD NAVI -Wiji