Tempo Edisi Khusus Wiji Thukul, 13 - 19 Mei 2013 | Page 18

BANG PAUL DI KAMPUNG DAYAK Sekitar tujuh bulan bersembunyi di Pontianak, sebundel puisi dan esai ia buat. Menggunakan nama-nama samaran, kawan dan kerabat tak tahu jati dirinya. + ”Suster sudah berangkat.” - ”Baik Romo, saya jemput.” D 52 I bawah terik matahari, sekitar pukul 10.00, dua lelaki itu bergegas keluar dari Bandara Supadio, Pontianak. Mengenakan topi, kacamata, serta tas ransel di punggung, Wiji Thukul dan Boy Frido menuju lahan parkir. Seorang lelaki berambut ikal, Stepanus Djueng, telah menanti. Tanpa basa-basi, ketiganya masuk Daihatsu Taft hijau. ”Tak banyak bicara. Situasi cukup mencekam,” kata Djueng, Kamis dua pekan lalu, mengingat peristiwa pada akhir Agustus 1996 itu. Kendaraan itu meluncur ke pusat kota. Di Kompleks Pangeran Pati I, Blok D 12, Siantan, Pontianak, mobil berhenti setelah menempuh perjalanan sekitar setengah jam. Djueng, Direktur Lembaga Bela Banua Talino (LBBT), mempersilakan paket ”suster” yang dikawal Boy, aktivis asal Bandung, itu masuk rumah. Sebuah kamar telah disiapkan untuk Thukul, aktivis PRD yang sedang diburu pemerintah karena dianggap turut mendukung PDI Mega dan merencanakan people power. Pemilihan Pontianak sebagai tempat persembunyian diputuskan dalam pertemuan di kantor Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) di Jalan Cut Meutia, Menteng, Jakarta, sepekan sebelumnya. Direktur Lembaga Penelitian Pembangunan Sosial, ketika itu Romo Hardaputranta, meminta Djueng membawa penyair asal Solo terse- 52 | | 1 APRIL 2012 but meninggalkan Jakarta yang dirasa semakin ”panas”. ”Skenarionya, dia akan menyeberang ke Malaysia, tinggal di daerah transmigrasi, atau di daerah aman seperti perkebunan sawit,” kata Djueng. Awal menginjak Tanah Dayak ini, Thukul bagai kutu loncat. Tiga hari pertama dia berdiam di tempat Djueng. Setelah itu, pindah ke rumah Darlip. Di kediaman pemuda yang baru lulus dari Universitas Tanjungpura, di Blok B kompleks ini, juga tak sampai sepekan. Rencana menempatkan Thukul di daerah rupanya gagal. Djueng lalu memanggil Thomas Daliman untuk membawa Thukul ke rumahnya di Jalan Ambang III, Tanjung Hulu, Pontianak timur. Aktivis LBBT yang juga seorang pegawai negeri itu diharapkan dapat mengecoh mata aparat. Thomas dipesan berhati-hati. Karena itu, pemindahan Thukul dilakukan ketika sudah larut malam untuk menghindari kecurigaan. Juga untuk mengurangi rasa waswas Thukul yang terlihat traumatik. Bila melihat orang asing, Thukul kerap dihinggapi rasa khawatir. Tak mengherankan, ketika sampai rumah dan melihat kamarnya di lantai dua, Thukul bertanya, ”Mas, lewat pintu mana untuk sewaktuwaktu bisa lari?” Dari kamarnya di lantai dua, Thukul selalu mengawasi orang yang lalu-lalang. Menurut Thomas, masamasa paranoid ini berlangsung sekitar tiga minggu. Selama pekanpekan itu dia tidak pernah keluar kecuali setelah pukul 10 malam. Itu pun selalu berdua dengan Thomas menggunakan sepeda motor. Dalam boncengan, Thukul kadang tampak merinding bila berpapasan dengan tentara atau polisi. Bila pergi ke luar rumah, Thukul selalu memakai topi koboi untuk menutupi wajahnya yang mudah dikenali. Apalagi masih ada luka di parasnya. Di sekitar mata, juga pelipis kanannya, terlihat lebam. Thukul mengaku kena popor senjata ketika berdemo Sritex di Solo. Karena luka ini, dia susah tidur. Ia baru terlelap ketika ayam berkokok. Thomas pun kadang memijitnya. Selain itu, dosen hukum di Universitas Tanjungpura ini mesti menyiapkan tuak (Rp 3.000 per botol) setiap malam selama beberapa minggu. Begitu menenggak dua botol minuman tradisional yang terbuat dari beras tape itu, barulah Thukul dapat tidur pulas di kamarnya yang seluas 3 x 3 meter. Selama tinggal di Kalimantan, Thukul memakai nama Paulus. Menurut Thomas, identitas itu diperkuat dengan membuat kartu tanda penduduk. Pada tengah September 1996, Thomas mengantar Thukul ke studio Foto Teknik d i Siantan. Ini pengalaman paling mendebarkan bagi Thomas. Pasalnya, ”Topinya kan harus dibuka. Ya, takut ketahuan, rambutnya baru dipotong cepak dan luka memarnya masih membekas,” tutur Thomas. Atas bantuan mahasiswa Thomas yang ayahnya seorang camat, selembar KTP pun jadi. Thukul alias Paul tercatat sebagai warga Desa Ambawang, Kecamatan Sungai Ambawang, Pontianak. Sehari-hari para tetangga yang semua tak mengetahui penyamaran tersebut memanggil Thukul dengan panggilan Bang Paul. Awalnya, istri dan kemenakan Thomas pun tak tahu jati diri sebenarnya Thukul. Yang mereka tahu, Paul adalah kawan Thomas dari tanah jauh yang sedang menyambangi Pontianak. Begitu pula kepada teman-teman Thomas di lembaga swadaya masyarakat, Thukul tetap mengaku bernama Paul. Bahkan beberapa kali Thukul mengikuti pertemuan LSM. Untuk menyuplai informasi ter-