Tempo Edisi Khusus Wiji Thukul, 13 - 19 Mei 2013 | Page 16
IDON HARYATNA/DETAK
-Wiji
mengecek ke tetangga dan pedagang makanan keliling yang lewat
depan rumahnya kalau-kalau mereka mendengar suara yang mencurigakan dari rumahnya. ”Dia itu
orangnya disiplin banget, teguh,
tahu konsekuensi dan tidak pernah
ngrepoti.”
Selama di sana, Thukul biasanya
hanya duduk bersila atau menekuk
kedua lututnya di kursi di dekat kamar sambil menulis atau sekadar
menggambar di buku seukuran kuarto. Jika tidak, ia mendekam di kamarnya.
Sesekali mereka berdiskusi jika
ada teman aktivis yang datang menjenguk Thukul. Biasanya televisi dinyalakan dengan suara keras untuk
menyamarkan percakapan. Thukul akan ikut merokok jika tamunya merokok. Seniman ini juga masih bersemangat jika berdiskusi tentang buruh dan situasi saat itu.
Keberadaan Thukul di rumahnya
sempat membuat Nana cemas dan
Saat pendeklarasian
Partai
Rakyat
Demokratik,
Jakarta,
22 Juli 1996.
gelisah karena situasi saat itu sulit
ditebak. Dia bahkan sempat memberi Thukul jaket musim dingin merah yang tebal. Selain untuk melindungi dari dingin, jaket itu dipakai
sewaktu-waktu untuk menyamarkan penyair asal Solo tersebut, misalnya saat pindah ke tempat Galuh
Wandita.
Sebelum ke tempat Galuh, Thukul disembunyikan dulu di tempat
Mohammad Mu’tashim Billah, aktivis prodemokrasi yang kemudian menjadi anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Malam itu
mereka mengantarkan Thukul bertemu dengan Hendra Budiman, aktivis dari Yogyakarta. Hendra mengenal Thukul sejak 1987, saat pertemuan pers mahasiswa di Yogyakarta. Dia anggota Rode, sebutan
bagi kelompok aktivis dan mahasiswa yang indekos di Gang Rode di kawasan Mergangsan, Yogya.
Hendralah yang meminta atasannya, Billah, menampung Thukul
karena rumahnya di Jatibening, Bekasi, dinilai cukup aman untuk bersembunyi. Apalagi ada paviliun di
belakang rumah Billah yang pernah Hendra tinggali ketika baru menikah. ”Saya antar dia (Thukul) malam-malam,” kata Hendra.
Hendra mengabarkan kedatangan Thukul pada saat sarapan. Billah
cukup kaget mengetahui ternyata
sang tamu sudah datang semalam.
Menurut Hendra, dia tak memberitahukan siapa teman yang akan ia
titipkan. Dia juga sempat mengunjungi Thukul dan berpesan supaya
tidak ke luar rumah.
Tapi, menurut Billah, sebelumnya dia sudah diberi tahu akan diminta menyembunyikan Thukul.
”Kami sekeluarga sudah siap dan sadar konsekuensinya,” ujarnya saat
ditemui Tempo di rumahnya yang
asri. Billah mengaku tak kenal secara pribadi dengan Thukul dan bukan anggota jaringan PRD, tapi mau
menampungnya karena Thukul termasuk jaringan prodemokrasi.
Rumah Billah agak menjorok ke
dalam dari jalan kampung di Jatibening. Tamu yang datang harus
melewati dua pintu gerbang menuju rumahnya, sekitar 30 meter.
Thukul:
Pelarian-
Saat itu, sudah tengah malam ketika
Thukul tiba. Billah menunggu di sudut luar rumah, tapi lampu luar rumah sengaja dimatikan.
Mereka lalu menuju paviliun di
halaman belakang rumah. Billah
kemudian menunjukkan jalan lewat pintu samping, lalu melipir ke
jalan setapak di samping rumah,
melewati musala, taman belakang,
dan kolam renang yang di atasnya
sekarang terdapat ruang kerjanya—
saat itu ruang kerja itu belum dibangun. ”Jadi dia tidak masuk ke rumah utama,” ujar Billah.
Paviliun itu tidak besar. Luasnya
sekitar 6 x 4 meter. Di sebelahnya
juga ada satu paviliun lagi. Rumah
itu dibatasi dengan tembok dan kawat berduri. Tak ada celah bagi
orang luar masuk ke pekarangan,
karena di balik tembok sudah langsung rumah tetangga.
Paviliun itu memiliki ruang tamu
bercat putih dengan tiga kursi dan
meja, dua foto di dinding, serta ukiran kayu seperti gebyok. Di samping
ruang tamu terdapat kamar mandi
dan dapur kecil. Thukul ditempatkan di salah satu kamar dari dua kamar di lantai dua. Kamar yang ditempatinya di sisi kanan. Jendela
dengan terali menyilang berada di
depan dan samping kamar.
Kamar Thukul itu berisi satu ranjang dan sebuah meja rias komplet dengan kaca yang agak buram menghitam. Di dinding terdapat tiga hiasan diding, yakni sebuah gambar kapal kecil, hiasan bunga dari kerang, dan gambar bunga
berukuran hampir satu meter di sisi
atas tempat tidur. Ketiga hiasan itu
tampak kusam.
Billah tak berinteraksi dengan
Thukul. Segala keperluan makan
disediakan oleh Tamin, pembantu
Billah. Menurut Tamin, Thukul tak
banyak berbicara. Biasanya Tamin
menyajikan makan tiga kali sehari
dan menyiapkan termos air, gelas,
gula, serta kopi atau teh. Dia akan
memanggil Thukul manakala saat
makan tiba. ”Mas, sudah siap!” ujarnya saat itu, lalu meninggalkan paviliun.
Thukul tak lama berada di sana,
hanya tiga hari hingga sepekan.
1 APRIL 2012 |
| 49
49