Tempo Edisi Khusus Wiji Thukul, 13 - 19 Mei 2013 | Page 15
KULKAS
YANG TERUS
BERPINDAH
Selama jadi buron di Jakarta, Wiji
Thukul berpindah tempat beberapa kali.
Para aktivis prodemokrasi membantu
menyembunyikannya.
L
48
AKI-LAKI bertubuh
kecil, kurus, gondrong,
dan menyandang ransel itu mendadak muncul di kantor Solidaritas Perempuan di Jalan Otto Iskandar Dinata, Jakarta Timur, pada siang hari, 6 Agustus 1996. Beberapa
anggota staf lembaga advokasi perempuan itu panik karena khawatir
dengan kedatangannya.
Nama Wiji Thukul, lelaki itu, sedang mencuat. Wajahnya terpampang di koran-koran dan televisi sebagai orang paling dicari polisi dan tentara setelah kerusuhan 27
Juli pada tahun itu. ”Kami akhirnya
mengadakan rapat kecil dan memutuskan membawa dia ke rumah
saya,” ujar Veronica Indriani, pertengahan April lalu.
Indriani adalah aktivis perempuan dari Yogyakarta yang bergabung
dengan Solidaritas Perempuan bersama Wahyu Susilo, adik Wiji Thukul. Dengan taksi, siang itu juga Indri, Thukul, Wahyu, dan seorang
teman Indri berangkat menuju rumah Indri di Bojong Gede, Bogor.
”Habis Rp 100 ribu mungkin. Terus kami tambahi, karena memang
jauh dan jalannya jelek,” kata Indri.
Rumah Indri kecil, tanpa pagar,
dan agak jauh dari tetangga di sebuah kompleks perumahan di Bojong Gede. Depan dan belakang rumahnya masih tanah terbuka. Kepada ibunya, Indri tak menceritakan siapa tamunya. ”Saya bilang,
dia kakak Mas Wahyu. Tapi mung-
48 |
| 1 APRIL 2012
kin Ibu tahu ada yang tidak biasa,”
ujar Indri.
Di rumah itu Thukul tidur di ruang tamu. Indri dan ibunya hanya
mengobrol secukupnya dengan
sang tamu. Thukul tak lama bersembunyi di sana, hanya tiga-empat hari, kemudian dijemput Alexander Irwan dan istrinya, Edriana Nurdin. Pasangan suami-istri
itu adalah aktivis prodemokrasi.
Alexander saat itu anggota dari jaringan Partai Rakyat Demokratik,
dan Edriana aktif di sebuah lembaga nonpemerintah. Sebelum pergi, mereka sempat makan bersama
dengan sayur lodeh dalam suasana
yang hangat.
Sejak itu Indri hanya mendapat
kabar tentang Thukul dari rekanrekan sesama aktivis dengan sandi khusus. Tapi dia tidak memantau
betul keberadaan Thukul. ”Waktu
itu kami menyamarkan dia dengan
sandi ’Kulkas’. Kebetulan waktu itu
saya mau beli kulkas dari seorang
teman,” kata perempuan yang pernah ikut mengadvokasi para korban pembangunan Waduk Kedungombo di Jawa Tengah pada 1987 itu.
”Oh, Kulkas sudah aman, ya, syukur,” dia mencontohkan.
Alex dan Edriana lalu membawa
Thukul ke rumah mereka di Bumi
Serpong Damai, Tangerang. Thukul
agak lama bersembunyi di sini. Tapi
Edriana mengaku tak ingat betul berapa hari Thukul tinggal. Dia memperkirakan seminggu-dua minggu,
antara Agustus dan Oktober. Thu-
kul tinggal di kamar tamu di samping kamar mereka.
Sebelum berangkat kerja, Nana—
panggilan akrab Edriana—memasak makanan dan menaruhnya di
meja makan, tak jauh dari kamar
Thukul. Dia sebenarnya membolehkan Thukul memanaskan makanan jika diperlukan, tapi hal itu tidak pernah dilakukan. Gorden jendela selalu ditutup dan lampunya
mati, membuat rumah itu seperti
tak berpenghuni.
Nana juga berpesan agar tidak
melakukan aktivitas yang mencurigakan selama ia dan Alex pergi, seperti menyalakan lampu dan televisi, merokok, atau membuat suarasuara tertentu. Nana heran dengan
keteguhan dan kedisiplinan Thukul karena dia tak pernah melihat
sesuatu yang berubah di rumahnya
ketika pulang.
”Bagaimana dia mandi, coba. Tak
ada suara apa pun selama rumah ditinggal,” kata Nana, yang sempat