Tempo Edisi Khusus Wiji Thukul, 13 - 19 Mei 2013 | Page 14

-Wiji mar mandi dan shower, serta lemari. Menurut Tomo, kamar nomor delapan kesukaan Thukul. Kamar itu selalu dipesan Thukul ketika ia singgah ke rumahnya. ”Wiji Thukul sering kemari. Pernah ketemu keluarganya juga di sini,” kata Tomo. Tomo menyatakan bertemu untuk terakhir kali dengan Thukul di rumahnya sekitar pukul tiga sore— ”Bila tak salah ingat, Maret 1997.” Saat itu Thukul, berkaus putih, bercelana panjang hitam, dengan tas kecil di punggung. Setelah makan, Thukul menyatakan hendak ke Jakarta. Tomo mengenang, Thukul minta ”digendong”. Maksudnya, Thukul minta uang saku. ”Digendong itu istilah akrab di kalangan seniman,” ujarnya. Tomo mengatakan saat itu sudah melarang Thukul ke Jakarta. Sebab, situasi politik di Jakarta sedang panas. ”Saya sudah bilang ke dia, di Jakarta sedang ada sweeping.” Namun Thukul nekat ingin ke Jakarta. Tomo pun memberi Thukul duit dan segera mengantarnya ke Terminal Borobudur, yang berjarak dua kilometer. Tomo, yang dikenal sebagai budayawan Borobudur, mengaku bertemu pertama kali dengan Thukul ketika ia membaca puisi di GoetheInstitut, Jakarta, pada 1994. Tomo terpesona waktu itu. Dengan idiom Kamar di Hotel Rajasa tempat Wiji Thukul pernah bersembunyi di kawasan Candi Borobudur, Magelang. sederhana, Thukul bisa membacakan puisi dengan ekspresi yang bagus dan mendalam. Sejak pertemuan di Jakarta itu, Tomo dan Thukul bersahabat. Sebelum ke Yogya dan Magelang, Thukul sempat mampir ke rumah cendekiawan Arief Budiman di Salatiga. Arief dan istrinya, Sitti Leila Chairani, tak ingat kapan pertemuan terakhir mereka dengan Thukul. Yang jelas, itu sebelum keduanya menetap di Australia serta setelah Arief tak mengajar lagi di Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga. Arief pergi ke Australia pada 1997, menjadi profesor di University of Melbourne, setelah tiga tahun sebelumnya dikeluarkan dari Universitas Kristen Satya Wacana. Penggalan kenangan yang tersisa adalah kedatangan Thukul seorang diri pada suatu hari selepas zuhur di k ediaman Arief, di kawasan Kemiri, Salatiga. Thukul datang membawa tas selempang. ”Penampilannya seperti orang kampung,” kata Arief kepada Tempo. Seperti biasa, Arief menemui tamunya di beranda yang letaknya agak terpisah dari bangunan utama rumah. Berukuran 2 x 4 meter, lantai beranda terbuat dari batu kali. Meja dan kursi antik menambah klasik ruang beranda. Siang itu tak ada tamu lain. Kepada Arief, Thu- Thukul: Pelarian- kul datang tanpa memberitahukan sebelumnya. Ia menyatakan sedang dalam pelarian karena merasa diawasi tentara. Kepada sang tamu, Arief menyarankan agar jangan bersembunyi di tempat saudara, kolega, atau kawan jaringan prodemokrasi, karena hal itu akan mudah diendus aparat. Jangan pula berkomunikasi melalui telepon. Disarankan juga agar dia bersembunyi di pelosok desa yang jauh dari akses informasi, atau pergi kepada seseorang yang sebelumnya tak dikenal. Arief juga berbagi trik penyamaran dan pelarian: pandai-pandailah menyaru. Atas nasihat itu, Thukul tak lama berada di rumah Arief. Pada kunjungan sebelumnya, Thukul selalu berdiskusi lama, bahkan bermalam. Pada kunjungan saat itu, Thukul berada di rumah Arief kurang dari satu jam. Selanjutnya, Arief memerintahkan Leila mengantar Thukul ke jalan raya yang mudah diakses untuk mendapat angkutan umum. Kalau yang mengantar Arief, tentu sangat mudah dikenali orang. Sebelum Thukul pamitan, Arief memberikan bekal uang. Soal jumlahnya, ia lupa. Yang jelas, untuk ukuran saat itu, cukup buat bekal hidup hingga sebulan. ”Uang itu dari Herbert Feith, Indonesianis asal Australia,” ujar Arief. Herbert Feith memang sering menitipkan uang kepada Arief untuk disalurkan kepada siapa saja yang dianggap membutuhkan bantuan. Setelah menyeruput kopi hingga tandas, Thukul bergegas mengikuti Leila ke garasi mobil. Mengendarai mobil Daihatsu Zebra, Leila mengantar Thukul ke perempatan Pasar Sapi, sekitar sepuluh kilometer dari rumah Arief. Sejak dari garasi sampai tujuan, Leila memerintahkan Wiji menelungkup di jok tengah agar tak terlihat dari luar. Menurut Leila, perempatan Pasar Sapi dipilih karena merupakan tempat ramai dan dilewati angkutan umum, baik dalam maupun luar kota. ”Kalau terjadi apa-apa, mudah pula minta pertolongan,” kata Leila. Setelah Thukul turun dari mobil, Leila langsung meninggalkan dia. ● 1 APRIL 2012 | | 47 47