Tempo Edisi Khusus Wiji Thukul, 13 - 19 Mei 2013 | Page 112
Catatan Pinggir
Thukul
W
IJI Thukul adalah sebuah catatan kaki.
Dalam kitab besar sejarah Indonesia,
politik ataupun sastra, ia bukan sebuah
judul atau tokoh di tengah halaman. Ia
ada di bawah lembar pagina, mungkin
malah di akhir bab, dengan huruf kecil-kecil.
Tapi, seperti tiap catatan kaki, ia mengingatkan kita bahwa ada satu informasi yang penting. Atau ia mengimbuhkan sebuah nota yang layak diperhatikan—dan menunjukkan bahwa sejilid teks yang "lengkap" sekalipun selalu meninggalkan satu-dua perkara yang masih merundungnya.
Pada saat yang sama, ia juga bagian yang mendapatkan
makna karena buku besar itu. Wiji Thukul terpaut dengan
sejarah perubahan politik Indonesia menjelang akhir abad
ke-20, ketika demokratisasi bergerak lagi melintasi penindasan, kekerasan, bahkan pembunuhan. Dalam arti tertentu, ia ikut mendapatkan kemenangan. Tapi ia pemenang
yang tak membawa pialanya ke rumah. Ketika rezim yang
dilawannya runtuh, ia hilang. Mungkin ia diculik dan dibunuh, seperti beberapa aktivis prodemokrasi lain, tanpa meninggalkan jejak.
Saya sedih tiap kali mengingat itu. Kami gagal bertemu
senja itu di Kedai Tempo di Jalan Utan Kayu 68-H, Jakarta
Timur. Thukul, yang berminggu-minggu berhasil disembunyikan di sebuah loteng untuk menghindari penangkapan
militer, seakan-akan melanjutkan status kaburnya. Ia mendadak jauh dari jangkauan teman-teman sendiri, ketika
kami semua menduga bahwa para pembunuh, setelah Soeharto jatuh, sudah tak punya daya lagi dan mereka yang di
bawah tanah bisa bebas ke luar.
Tak adakah happy end bagi orang kerempeng ini? Diakah
kelanjutan si bocah cilik yang selamanya kalah dalam "Megatruh Solidaritas"?
Tapi bila potret diri dalam sajak ini muram, tak berarti ia
kelam. "Megatruh" jauh dari sikap mengasihani diri. Di dalamnya ada kesakitan yang lebih menggores ketimbang kekalah