Tempo Edisi Khusus Wiji Thukul, 13 - 19 Mei 2013 | Page 113
Tiga anak kecil
Dalam langkah malu-malu
Datang ke Salemba
Sore itu.
Ini dari kami bertiga
Pita hitam pada karangan bunga
Sebab kami ikut berduka
Bagi kakak yang ditembak mati
Siang tadi
ingatannya melayang
didakap siksa
tapi siksa cuma dapat bangkainya
Sajak itu dilarang beredar oleh penguasa militer di awal
"Demokrasi Terpimpin". Ironis atau tidak, peristiwa yang
mirip terjadi di akhir masa itu, 1966.
Seorang mahasiswa di Jakarta mati terkena peluru tentara ketika ia ikut berdemonstrasi menentang kenaikan
harga-harga yang menekan hidup orang sekelas penjual
rambutan di tepi jalan. Taufiq Ismail (yang menerbitkan
sajaknya dengan nama samaran; ia termasuk sastrawan
pendukung "Manifes Kebudayaan" yang diberangus) menulis suasana protes dan berkabung di kampus Salemba
saat itu:
Tak perlu ditegaskan lagi: sajak Thukul, Wispi, dan Taufiq
adalah tiga rekaman tentang yang traumatik, tapi berulang,
dalam sejarah Indonesia modern. Andai kita tak kenal data
biografis masing-masing penyair (yang berada dalam posisi
politik yang berbeda, bahkan mungkin bertentangan), kita
akan menemukan variasi atas satu thema: kekuatan yang
bersenjata membunuh orang yang tak bersenjata, dan kekuasaan dicoba ditegaskan.
Tapi saya rasa Thukul berbeda: ia adalah kepolosannya.
Sementara tiga anak kecil dalam sajak Taufiq adalah satu device buat menegaskan kontras yang tajam antara kepolosan
dan efektifnya kekuasaan, dalam sajak Thukul si anak dan
si polos itu tak cuma datang dari luar. Kekuasaan yang laten
dan brutal menyengat langsung tubuhnya.
Mungkin sebab itu sajaknya (tak hanya yang saya kutip
ini) terasa longgar, seperti suara anak yang seenaknya dalam ekspresi. Sajak Taufiq menjaga bentuknya dalam imajiimaji yang minimalis, lugas, deskriptif. Sajak Wispi menata
langkahnya ke klimaks dengan ketegangan di tiap baris, ketika dengan pathos yang diam sang pencerita menyatukan
diri dengan si korban.
Sajak Thukul lain: ekspresinya yang longgar terasa ketika dibiarkannya dirinya memakai kata Jawa seperti nang
("buyung") dan simbok ("emak"), tak peduli akan pahamkah
pembacanya di Fakfak. Ia terbebas dari beban keinginan
menampakkan kepiawaian puitik. Mungkin karena ia begitu berkelindan dengan kemelaratan, ia cuekkan keindahan.
Tapi bisakah keindahan dicuekkan di "rumah-rumah miring"? Käthe Kollwitz, perupa sosialis Jerman (1867-1945), hidup dengan kaum buruh yang melata di Berlin. Aneh atau
tak aneh, baginya kaum buruh semata-mata "indah". Das
Proletariat war für mich eben Schön.
Tapi "yang indah" memang bisa meluas: semacam tarikan cinta yang misterius, yang membuat sajak-sajak Thukul
tak melihat dengan jijik benda-benda penanda kekumuhan di sekitarnya. Itu sebabnya ia, seperti Kollwitz, tak hanya
menggoreskan teriak, tapi puisi: suara lirih yang akrab dan
tajam di catatan kaki. Goenawan Mohamad
19 MEI 2013 |
| 113