Tempo Edisi Khusus Wiji Thukul, 13 - 19 Mei 2013 | Page 107
-Wiji
Sejumlah tokoh gerakan yang kabarnya menyembunyikan Thukul
mereka datangi. Di Salatiga, mereka
menemui Arief Budiman. Arief salah satu orang yang mengajak Thukul aktif berpolitik, sehingga mereka menyangka semestinya ia tahu
keberadaan Thukul. Namun Arief
mengaku tidak tahu. ”Katanya ia
memang pernah didatangi Jikul,
tapi lantas menyuruhnya pergi karena rumah Arief ketika itu juga sedang diawasi intel,” ujar Lawu.
Di Jakarta, mereka mendapat kabar Thukul disembunyikan jaringan gereja melalui Ignatius Sandyawan Sumardi. Lawu lantas mendatangi Sandyawan. Berpakaian jas
dan celana jins serta menenteng tas
kulit kotak, Sandyawan menemui
Lawu di Kafe Semanggi pada akhir
Oktober 1998.
Dihubungi Tempo pekan lalu,
Sandyawan membenarkan kabar pertemuannya dengan Lawu
dan sejumlah anggota Teater Jagat.
”Saat itu, saya katakan kepada mereka bahwa saya memang membantu menyembunyikan beberapa
orang, tapi Thukul bukan saya yang
menyembunyikan. Dan saya tidak
tahu ia di mana,” ucapnya.
Lebih dari sebulan mencari tanpa
hasil, Lawu pun menyerah. Mereka pulang dan mengubur rambut di
Telaga Winong. Meski begitu, hingga kini Lawu dan Hartono yakin
Thukul belum mati. ”Saya punya
kemampuan mencari barang hilang
bahkan bangkai yang sudah dimakan ikan sekalipun. Jika jasad Thukul tidak bisa saya temukan, berarti
ia belum mati,” kata Hartono sambil
meramalkan bahwa, 30 tahun setelah menghilang, Thukul akan muncul kembali.
Keyakinan yang sama muncul
dari Sipon—panggilan akrab Dyah
Sujirah, istri Wiji Thukul. Hingga
kini, nama Wiji Widodo masih dicantumkan sebagai kepala keluarga di kartu keluarga Sipon. Dia tidak
bersedia menyandang status janda
apalagi menyatakan suaminya telah meninggal. ”Suami saya hilang.
Kalau dibilang mati, di mana jasadnya?” kata Sipon pada Maret lalu
saat ditemui di rumahnya di Jaga-
Telaga
Winong di
Kabupaten
Wonogiri,
Yogyakarta.
Thukul:
lan, Jebres, Solo.
Thukul terakhir menghubungi Sipon pada pertengahan Mei 1998 ketika kerusuhan meledak di Jakarta
dan berbagai kota lain. Seorang anggota PRD di Solo datang dan mengatakan bahwa Thukul ingin berbicara.
Pemuda itu memberikan nomor telepon untuk dihubungi Sipon. ”Saya
lupa nama anak PRD itu, begitu juga
nomor teleponnya,” ujarnya.
Dalam pembicaraan telepon itu,
Thukul mengaku sedang di Jakarta.
Ia khawatir terhadap kondisi Sipon
dan keluarga karena tahu Solo ikut
bergolak serta ter