Tempo Edisi Khusus Wiji Thukul, 13 - 19 Mei 2013 | Page 105
-Wiji
KADO WANI
BUAT BAPAK
ANTARA/FANNY OCTAVIANUS/09
D
ALAM pelarian di Yogyakarta, di sebuah siang
pada akhir Desember 1997, Wiji Thukul bertemu
dengan istri dan anaknya. Mereka bukan ingin
merayakan hari Natal bersama. Rupanya Thukul,
yang dikejar-kejar aparat Orde Baru, masih ingat hari kelahiran anaknya.
Anak kedua Thukul, Fajar Merah, lahir pada 22 Desember
1993. Ulang tahun keempat Fajar dirayakan secara sederhana
di sebuah tempat. Mereka menyewa sebuah kamar sederhana
di salah satu hotel papan bawah selama beberapa malam.
Pada pertemuan terakhir itu, anak pertama Wiji Thukul,
Fitri Nganthi Wani, masih berusia 8 tahun. Kini
Wani dan Fajar telah dewasa. Sudah lebih dari
15 tahun mereka tidak berjumpa dengan bapaknya.
Kini Sipon dan kedua anaknya masih menanti kepastian kabar tentang Wiji Thukul. Di
sebuah rumah sederhana di kawasan Jagalan,
mereka tinggal bersama melakoni hidup di tengah pujian dan cibiran dari masyarakat. Kini
kondisi kedua anak Thukul tentu sudah berubah.
Wani pada saat ini sudah menikah dengan seorang pria asal Donohudan, Boyolali. Dia dikaruniai seorang putri cantik, yang baru saja lahir dua bulan lalu. Mengasuh cucu Wiji Thukul
itu menjadi kegiatan baru bagi Sipon di selasela kegiatannya menjahit pakaian. ”Untuk
sementara kuliah Wani berhenti,” kata Sipon.
Wani tercatat sebagai mahasiswa di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Dia mengambil Jurusan Sastra Indonesia.
Kehidupan keluarga Sipon yang pas-pasan
membuat Wani terbiasa hidup mandiri sejak
remaja. Dia menekuni bisnis jual-beli kosmetik yang diperdagangkan secara online melalui jejaring media sosial. Bisnis itu masih terus dilakoni hingga saat ini. Sebuah laptop tua dan perangkat modem menemani Wani dalam aktivitas jual-beli online-nya. Di saat senggang, Sipon terkadang menggunakannya untuk sekadar bermain game Zuma demi mengusir kepenatan.
Wani juga menuruni bakat bapaknya dalam dunia sastra.
Pada 2009, dia menerbitkan sebuah buku kumpulan puisi
berjudul Selepas Bapakku Hilang. Buku itu berisi 74 puisi yang
ditulisnya selama delapan tahun. Wani mulai menulis puisi yang diterbitkan dalam buku itu sejak 2000. Artinya, pada
saat itu dia masih berusia remaja, sekitar 15 tahun. Dia mulai
menulis puisi di usia yang lebih muda ketimbang bapaknya
saat pertama kali menulis puisi.
Thukul:
Siapa
Thukul?-
Seperti terlihat dalam judulnya, kumpulan puisi itu berisi
curahan perasaan Wani sebagai anak dari orang hilang. Penantian atas kepulangan bapaknya yang hilang tidak tentu
rimbanya menjadi tema utama dalam kumpulan puisi tersebut. Salah satunya melalui puisi berjudul ”Pulanglah, Pak”.
Sedangkan anak kedua Thukul, Fajar Merah, kini juga menjadi seorang seniman. Pemuda berambut gondrong itu memilih mengambil jalur musik. Pekerjaannya sebagai operator di
sebuah studio musik cukup mendukung bakatnya. Fajar bisa
menggunakan studio itu untuk berkarya setelah pelanggan
terakhir pulang.
Pendidikan yang ditempuh Fajar memang mendukung keinginannya menjadi seniman. Dia belajar di Sekolah Menengah Kejuruan 8 Surakarta, yang dulu bernama Sekolah Menengah Karawitan Indonesia.
Dulu Wiji Thukul bersekolah di tempat tersebut. Bernasib sama dengan bapaknya, Fajar berhenti di tengah jalan.
105
Putri Wiji
Thukul, Fitri
Nganthi Wani.
Dia memilih menekuni kegiatannya
bermusik bersama beberapa temannya dengan mengikuti berbagai parade dan festival musik di Kota Solo dan
sekitarnya. Dalam perjalanannya bermusik, Fajar berhasil
menggubah sejumlah lagu. Sebagian sudah dia rekam. Kebanyakan lagunya bertema percintaan.
Fajar memang tidak tertarik membuat lagu bertema politik
seperti puisi bapaknya. Dia juga tidak tertarik membawakan
puisi bapaknya dalam sebuah lagu. ”Saya tidak suka disamakan dengan Bapak,” katanya. Pemuda berperawakan kurus
itu memilih menjadi seniman tanpa dibayangi nama bapaknya. ● AHMAD RAFIQ
1 APRIL 2012 |
| 105