Tempo Edisi Khusus Wiji Thukul, 13 - 19 Mei 2013 | Page 104
104
-- HIDUP berkeluarga juga tak mengendurkan semangat Thukul untuk ngamen keliling sekaligus menyuarakan penderitaan rakyat lewat puisi-puisinya. Di rumahnya,
dia mendirikan Sanggar Suka Banjir. Nama sanggar ini diambil dari
kondisi daerah rumah mereka yang
kala itu menjadi langganan banjir. Dalam kegiatannya itu, Thukul
mulai dekat dengan kalangan aktivis pergerakan dan mendirikan Jaringan Kesenian Rakyat (Jaker). Selanjutnya, pada 1994, Thukul bersama Jaker secara resmi masuk menjadi bagian dari Partai Rakyat Demokratik.
Thukul pun semakin jarang pulang. Pernah suatu ketika dia pulang
dengan badan lusuh dan pakaian kumal yang tampak telah berhari-hari
tak terkena air. Sipon sama sekali tak
mengomel. Dengan sabar dia menyiapkan air hangat untuk Thukul, yang
setelah mandi langsung tertidur pulas seperti telah berbulan-bulan tak
merebahkan diri.
Semuanya mulai berantakan
pada Agustus 1996. Thukul kabur
ketika beberapa anggota kepolisian mendatangi rumahnya. Ketika
itu, aparat memburu anggota PRD
karena partai ini dikatakan terlibat
penyerangan markas Partai Demokrasi Indonesia di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, yang kini dikenal
dengan peristiwa 27 Juli.
Dalam pelarian, Thukul harus
mencuri kesempatan untuk bertemu dengan Sipon. Paling sering keduanya berjumpa di Pasar Klewer.
Setiap bertemu, mereka membikin
janji untuk pertemuan selanjutnya.
Karena tak bisa bertemu di rumah,
keduanya terkadang melepas kangen di Hotel Tunjungan Indah, Sragen. ”Kami menginap di sana karena murah,” kata Sipon. Di sana Thukul bercerita soal beberapa daerah
yang dikunjunginya dan beberapa
kali meminta duit kepada sang istri
untuk membiayai hidup selama pelarian.
104 |
| 1 APRIL 2012
yang sama, Thukul menceritakan
tentang seorang perempuan yang
sedang hamil dan meminta Sipon
membuatkan pakaian bayi, dari popok sampai grito. Curiga, Sipon yang
penasaran bertanya tentang perempuan hamil tersebut. ”Kamu cemburu?” ujar Thukul sembari tertawa.
Sipon menampik pertanyaan sekaligus tudingan dari suaminya tersebut. Dia malah berujar kepada
Thukul bahwa ia memahami jika seorang pria lebih susah menahan hasrat seksual ketika jauh dari pasangannya. ”Terus kamu menikah di
sana dan yang hamil itu istrimu, bukan?” kata Sipon, masih penasaran.
”Lha bagaimana lagi, untuk ’beli’ tidak punya uang,” ujar sang suami.
Hari itu juga Sipon pergi ke Pasar Klewer membeli kain dan malamnya menjahit popok serta grito bayi yang dipesan Thukul. Keesokan harinya mereka bertemu.
Thukul pamit pergi lagi. Sipon masih ingat sempat menanyakan jenis
kelamin si bayi kepada sang suami,
yang tampak berat untuk berangkat. ”Dia tidak menjawab,” kata Sipon. Kini bertahun-tahun Thukul
hilang, Sipon k