Tempo Edisi Khusus Wiji Thukul, 13 - 19 Mei 2013 | Page 103
-Wiji
Thukul:
THUKUL DAN SIPON
Anjing nyalak
Lampuku padam
Aku nelentang
sendirian
Kepala di bantal
Pikiran menerawang
Membayang pernikahan
(pacarku buruh harganya tak
lebih dua ratus rupiah per jam)
Kukibaskan pikiran tadi dalam
gelap makin pekat
Aku ini penyair miskin
Tapi kekasihku cinta
Cinta menuntun kami ke masa
depan….
D
DOK:ROSSYLN VAN DER BOSCH
UDUK di meja ru-
ang tamu, Wiji Thukul membacakan puisi berjudul ”Catatan
Malam”
karangannya itu di hadapan tuan rumah, Siti
Dyah Sujirah. Malam itu, 24 Februari 1988, Sipon—begitu Siti biasa dipanggil—duduk terpekur, terdiam
dengan hati berbunga-bunga. ”Kalau kamu perempuan itu, mau atau
tidak jadi pacarku?” kata Thukul kepada Sipon. Tak perlu waktu lama
bagi Sipon untuk menerima permohonan pria yang baru sebulan dikenalnya itu.
Sebulan sebelumnya, mereka
bertemu dengan cara yang sangat
tak biasa. Kala itu, Sipon sedang
mengevakuasi tetangganya yang sedang kebanjiran di Kampung Jagalan, Solo. Dia melihat sosok Thukul
yang dianggapnya aneh karena bukannya ikut membantu evakuasi,
malah petantang-petenteng dengan
Sipon dan
Wiji Thukul
di Solo,
1989.
kamera dan sibuk memotret para
korban. Kesal, Sipon menghardik
Thukul agar ikut menolong.
Sipon sama sekali tak mengenal
siapa pria ”aneh” tersebut. Hingga
beberapa hari kemudian, dia kembali melihat Thukul sedang berlatih
teater bersama Lawu Warta Cempe
Wisesa, pendiri Sarang Teater Ja