Tempo Edisi Khusus Wiji Thukul, 13 - 19 Mei 2013 | Page 100
GALANG AKSI
KORBAN SRITEX
K
ETEGANGAN seketika menular di sepanjang ja-
100 |
| 1 APRIL 2012
ruh, melihat Desa Jetis bak kampung hantu. Sepi, lengang, dan berantakan. Di seWiji Thukul
panjang jalan hanya tersisa sandal, sepasaat terluka tu, tas, dan beberapa sobekan baju yang
di bagian
berserakan.
Lexy pun melanjutkan perjalanannya
matanya.
menuju kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Sukoharjo. Di sana dia melihat beberapa kawan aktivis melanjutkan aksi. Tapi, sekali lagi, aparat
menggebuk dan menggelandang mereka ke kantor kepolisian, termasuk Lexy dan kamera genggamnya yang kemudian
dirusak.
Di ruangan besar Kepolisian Resor Sukoharjo telah menunggu puluhan aktivis yang tampak kesakitan. ”Di situ saya
melihat Thukul. Pandangannya menerawang. Mata kanannya bengkak dan membiru,” kata Lexy, yang mengaku hanya
mengenal Thukul dari beberapa kali kumpul dengan kawankawan aktivis mahasiswa.
-- DEMONSTRASI buruh Sritex kala itu menuntut kenaikan
upah pekerja—sebagian di antara mereka hanya dibayar Rp
1.600 per hari, jauh di bawah gaji minimal provinsi Rp 2.600
per hari. Banyak juga laporan kasus kepegawaian. ”Buruh
DOK: ARI YURINO
100
lan menuju pabrik garmen PT Sri Rejeki Isman (Sritex) di Desa Jetis, Kabupaten Sukoharjo, sekitar 15
kilometer dari Kota Solo. Hari itu Senin, 11 Desember 1995. Belasan ribu buruh memenuhi jalanan, duduk-duduk, menolak masuk kerja. Di antara mereka tampak juga Ketua Jaringan Kesenian Rakyat Wiji Thukul serta beberapa aktivis Partai Rakyat Demokratik lainnya dari Pusat Perjuangan Buruh Indonesia dan Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi.
Di ujung, dekat gerbang pabrik, ratusan aparat berseragam
hijau loreng telah bersiap mengamankan pabrik yang baru
tiga tahun sebelumnya diresmikan Presiden Soeharto itu.
Sebagian di antara mereka naik sepeda motor trail. Ada juga
yang siaga di atas mobil pikap kepolisian.
Pagi itu belum genap pukul tujuh. Peserta demonstrasi
baru menyiapkan barisan ketika tiba-tiba aparat secara membabi-buta menyerbu mereka. Buruh yang panik langsung lari
tunggang-langgang. Beberapa aktivis ditangkap lalu digebuk.
”Saya hanya mendengar ibu-ibu menjerit ketakutan. Tapi jeritan itu tak bisa menghentikan pukulan,” kata Thukul, seperti dikutip dalam disertasi ”Politik Kebudayaan dan Seni
Penentangan di Indonesia: Kajian Kes terhadap Penyair Wiji
Thukul” karya Muhammad Febriansyah (2012).
Rupanya dari awal aparat mengincar Thukul karena ia diduga sebagai dalang demonstrasi. Ketika itu, dia dikenal aktif
mengorganisasi buruh di Sukoharjo lewat Teater Buruh. Semula Thukul berhasil kabur dari kejaran aparat, lari ke dalam
kampung dan bersembunyi di kuburan. Tapi, nahas, beberapa saat kemudian dia disergap karena keluar dari persembunyian.
Sadar yang ditangkap adalah Thukul, puluhan aparat bertubi-tubi memukulnya. Tak cukup bogem mentah dan tendangan sepatu bot ke tubuhnya, pukulan rotan juga diempaskan ke jari-jari tangan. Puncaknya, kepala Thukul dibenturkan di kap mobil aparat.
Lilik Hastuti, yang kala itu ada di tempat kejadian sebagai
perwakilan Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi, tak tahu persis bagaimana Thukul ditangkap lalu disiksa.
”Yang saya ingat, kami semua diangkut menuju Polres Sukoharjo menaiki mobil pikap polisi,” ujarnya Senin pekan lalu.
Selang beberapa saat setelah kejadian, pemandangan horor mewarnai jalanan depan Pabrik Sritex. Lexy Rambadeta,
mahasiswa filsafat Universitas Gadjah Mada dan jurnalis lepas
yang kala itu telat datang untuk mendokumentasikan aksi bu-