Suara Golkar edisi Januari 2013 | Page 24

Tapi kesannya Orde Baru sangat otoriter sekali? Ya memang bukan demokrasi, bukan demokrasi seperti sekarang. Orde Baru kurang lebih seperti China sekarang. Ada banyak partai tapi yang berkuasa satu partai. Partai tersebut yang menjamin stabilitas, sehingga pembangunan tetap jalan, ekonominya jalan, rakyatnya juga terjamin. Tetapi ongkos politiknya mahal karena mengorbankan kebebasan. Cina sekarang persis seperti kita dulu. Orde Baru memang tidak mau ambil resiko adanya instabilitas. Karena itu konflik antar agama ditekan. Tidak ada konflik antar suku, seperti orang Bugis dengan orang Ambon di Maluku, Sunni dengan Syiah atau Ahmadiyah. Dulu memang ditekan dan dijaga. Jadi perbedaan tidak ditolerir, sekarang malah itu yang menonjol. Kalau tidak suka bilang tidak suka apapun dampaknya pada yang lain, itulah bedanya. Memang dulu otoriter tapi stabil, sekarang demokratis tapi gonjangganjing. Meski demikian, dengan segala kelemahannya demokrasi tetap lebih baik. Kita bersyukur ada reformasi politik dari otoriter menjadi demokrasi. Waktu Sudharmono dipilih menjadi ketua umum pada Munas Golkar 1983, karena kita ingin memajukan kelompok profesional di jalur G maka saya masukkan nama-nama kepada Pak Dharmono seperti Fahmi Idris, Aburizal Bakrie, Siswono, Jusuf Kalla, Fadel Muhammad, Arifin Panigoro, Abdul Latief, mereka itulah yang mulai mengisi jajaran Golkar dari kelompok profesional. Aburizal Bakrie itu pengusaha tulen. Jusuf Kalla, dan Fadel Muhammad adalah pengusaha tulen. Tapi akhirnya mereka jadi politisi yang handal. Pada gilirannya para pengusaha juga mendapat perlindungan politik untuk tidak jadi bulan-bulanan penguasa. Di daerahdaerah juga terjadi gerakan yang serupa. Pengusahapengusaha tersebut masuk ke dalam Golkar, dan mereka mengisi kelompok profesi, sehingga Golkar mencerminkan kekaryaan. Apa alasannya? Golkar adalah Golongan Karya. Karenanya harus menrcerminkan kekaryaan itu. Perlu anak-anak muda nonmiliter dan non-birokrat. Itulah yang sengaja kita desain bersama Pak Dharmono. Pertama kali sewaktu Agung Laksono menjadi ketua AMPI, saya yang usulkan ke Pak Dhar. Kita lagi cari siapa yang jadi ketua umum AMPI, waktu itu ada ketua HIPMI yang bernama Agung Lakosono. Dia seorang pengusaha, profesional, dialah yang didorong. Sekarang Agung Laksono jadi salah seorang tokoh kunci Golkar. Apakah Golkar zaman Pak Harto sudah menyiapkan konsep Demokrasi? Waktu itu belum ada pemikiran sejauh itu. Tidak pernah terpikirkan menjadi demokrasi seperti demokrasi liberal yang kita anut sekarang. Golkar waktu itu menjadi alatnya pemerintah. Sebaliknya pemerintah juga alatnya Golkar. Jadi walaupun Sekjennya berasal dari sipil belum tentu lantas sistemnya jadi demokrasi. Cuma wajahnya lebih bagus. Harmoko ketua umum yang pertama kali dari sipil, Pada waktu jalur profesional diperkuat, apakah ABRI namun demikian tetap saja Golkar alat pemerintah. merasa tersisihkan? Pada awalnya, iya, ada konflik sedikit antara Pak Dharmono Di Golkar ada 3 jalur, Jalur A itu ABRI, yakni purnawirawan, dengan Pak Benny Moerdani sebagai panglima TNI. Pak FKKPI, istri tentara. Jalur B itu beringin, yakni birokrasi, Dharmono mengisi posisi-posisi partai dengan orang-orang G itu Golkar murni. Golkar waktu itu lebih dikuasai jalur profesional tersebut, diantaranya banyak mantan aktivis, A dan B. Pada zaman Pak Dharmono beliau mendorong sehingga tidak selalu sejalan dengan pandangangan aparat kelompok G, yang non tentara dan non birokrat. Muncullah keamanan, dan dianggap terlalu jauh. Itu suatu nucleus Sarwono, Siswono, Theo Sambuaga, Agung Laksono, ke arah demokratisasi. Yang namanya demokrasi adalah Akbar Tandjung pada