TOP STORY
hadap dollar AS, harga SUN akan terus terkikis. “Pelaku pasar
lebih cenderung wait and see dan tidak ambil posisi, terlihat dari
volume transaksi yang sampai saat ini masih sepi,” tambahnya.
Volume transaksi dari awal tahun hanya Rp 4 triliun per hari. Ini
jauh di bawah volume rata-rata transaksi harian di tahun 2012
yang bisa mencapai Rp 7 triliun.
Kelesuan pasar obligasi masih bertolak belakang dengan
pasar saham yang justru mencetak all time high. Indeks Harga
Saham Gabungan (IHSG) pada bulan lalu menembus level 4.400
atau tertinggi sejak bursa berdiri. Hanya saja kondisi kontras ini
bukanlah anomali, dan justru memberikan sinyal bahwa tak lama
lagi IHSG bisa terkoreksi. Ini karena pasar obligasi pemerintah
adalah indikator pendahulu (leading indicator) di bursa finansial.
Kondisi ini pernah terjadi pada koreksi besar harga SUN mulai Juli 2007 hingga titik terendah pada November 2008, akibat tekanan rupiah yang melempem hingga Rp12.000 per dollar
AS. Pasar saham baru merespon tekanan fundamental rupiah ini
pada Juli 2008 yang kemudian menyulut bearish besar hingga
Maret 2009. Di negara berkembang seperti Indonesia harga obligasi dan saham berkorelasi positif.
Namun Direktur Utama BEI Ito Warsito mengatakan pelemahan rupiah belakangan ini justru membuat investor asing mencatatkan net buy. “Tentu kita berharap nilai rupiah stabil, tapi
melemahnya nilai tukar membuat harga saham di BEI dalam dolar menjadi lebih murah,” ujar dia. “Perlu diketahui melemahnya
rupiah membuat ‘net buy’ asing. Hingga Selasa (15 Januari 2013)
sudah mencapai Rp2,8 triliun. Tetapi kalau rupiah tidak stabil
mereka juga jadi takut,” kata dia.
Ito mengaku belum melihat keresahan dikalangan emiten
terkait beban utang valas yang pasti akan melonjak bila rupiah
terus melemah. “Tidak ada keresahan emiten di dalam negeri
karena itu-kan (utang) kewajiban untuk membayar,” ujar dia.
Selain berpengaruh terhadap pasar dalam bentuk potensi
capital outflow, pelemahan rupiah berdampak serius terhadap
kinerja emiten. Dampak yang muncul bisa positif maupun negatif, tergantung dari posisi risiko valas dalam struktur keuangan
perusahaan. Pada emiten dengan kewajiban dan beban operasional besar dalam valas, pelemahan membuat laba bersih bisa
tergerus. Sebaliknya, emiten dengan profil penjualan ekspor
bisa mendulang untung.
PIALANG INDONESIA
20
EDISI 6 FEBRUARI 2013