TOP STORY
STRATEGI
EMITEN HADAPI
RUPIAH
M
ei tahun lalu rupiah yang tiba-tiba terdepresiasi hingga
4% secara bulanan terhadap
dollar Amerika Serikat sempat membuat gaduh industri keuangan.
Bank sentral kala itu menengarai tekanan
terhadap akibat pelarian valuta asing oleh
perbankan yang kelimpahan Devisa Hasil
Ekspor (DHE). Dari situlah kemudian untuk
pertama kalinya, Bank Indonesia (BI) merilis
operasi pasar untuk valas agar perbankan
terhindar dari net open position atau sebuah
posisi yang membuat bank dikenai sanksi
karena menyimpan valas.
Cerita di pasar saham waktu itu, depresiasi turut menekan kinerja saham di lima
sektor usaha emiten. Yaitu jasa dan perdagangan, industri dasar, aneka industri, manufaktur, dan keuangan. Data Bloomberg menyebut, koefisien korelasi antara penurunan rupiah terhadap kinerja lima indeks sektoral tersebut berkisar 0,42 hingga
0,55. Semakin besar angka koefisien mencerminkan risiko yang besar antara kinerja
harga saham emiten dengan pergerakan nilai tukar rupiah.
Sentimen negatif muncul karena depresiasi rupiah menciptakan sentimen negatif
di kalangan investor. Kinerja emiten-emiten dianggap akan tertekan oleh eksposur
bisnis yang terkait dengan dollar Amerika Serikat. Entah itu dari sisi biaya impor bahan baku, atau beban utang dalam denominasi dollar AS.
Secara kasat mata, sektor atau emiten yang berpotensi tertekan oleh pelemahan rupiah dapat mudah ditemukan. Gabungan Perusahaan (GP) Farmasi Indonesia
memperkirakan depresiasi rupiah pada awal kuartal I tahun ini akan mendongkrak
biaya produksi. “Selama ini, 95% bahan baku produsen farmasi di Indonesia masih
diimpor. Biaya produksi, khususnya biaya bahan baku, akan berpengaruh jika rupiah
PIALANG INDONESIA
21
EDISI 6 FEBRUARI 2013