MARKET
MARKET
MACRO VIEW
tiga bulan, telah terjadi pelemahan
sebesar 40 persen. Indeks terus
mengalami fluktuasi dan berada level
1.355,41 pada penutupan akhir 2008,
atau turun 51 persen dari posisi awal
tahun.
Demikian pula dengan nilai rupiah yang meluncur dengan kecepatan tinggi. Dari Rp9.161 per dolar AS
pada awal September 2008 menjadi
Rp11.050 pada 31 Oktober, dan terus
jatuh hingga Rp 12.650 pada 24 November. Rupiah ketika itu terdepresiasi hingga 38 persen hanya dalam
tiga bulan.
Saat terjadi krisis moneter 1997-1998, indeks turun 221 poin
atau 29,95 persen dari 740,83 pada 8 Juli 1997 yang merupakan level tertinggi dalam sejarah bursa hingga saat itu ke 518,94
pada 8 Oktober 1997. Indeks bahkan terus turun ke posisi terendah 256,83 pada 21 September 1998 sebelum kembali mengalami kenaikan.
Nilai rupiah pun merosot 129 persen dari Rp2.362 pada Januari 2007 menjadi Rp5.403 per dolar AS pada Desember 2007.
Saat Presiden Soeharto menandatangani LoI yang disodorkan
IMF pada 16 Januari 1998, rupiah sudah bertengger di level
Rp8.450 dan terus berfluktuasi hingga puncaknya Rp16.650 per
dolar AS pada 17 Juni 1998.
Terlepas dari kemiripan situasi pasar finansial pada ketiga
periode krisis tersebut, situasi saat ini dapat dikatakan lebih
mengkhawatirkan. Ini lantaran selain pelemahan IHSG dan kurs
rupiah, kondisi fundamental ekonomi Indonesia juga bermasalah.
Ini terlihat dari neraca transaksi berjalan yang negatif dalam tujuh
kuartal berturut-turut.
Pada 2008, defisit neraca transaksi berjalan hanya berlangsung tiga kuartal dan kembali positif pada kuartal I-2009. Turunnya harga minyak internasional memberikan berkah karena
mengurangi beban impor minyak.
Saat ini, berdasarkan data Bank Indonesia, neraca transaksi berjalan Indonesia pada kuartal II-2013 mengalami defisit
USD9,9 miliar atau sekitar 4,5 persen terhadap produk domestik
PIALANG INDONESIA
42
EDISI 14 OKTOBER 2013