“Menurut saya, ancaman terbesar
bagi kebhinnekaan adalah mereka
yang memaksakan ideologi,
bertentangan dengan Pancasila
dan juga kebhinnekaan. Apalagi,
menggunakan kekerasan. Bangsa
Indonesia ini sudah menjadi
bangsa yang bersatu, yang pada
waktu sumpah pemuda sudah
berjanji, sepakat bahwa kita
hidup berdampingan, meskipun
kita berbeda keyakinan, suku, ras,
dan identitas. Suku yang terdapat
di Indonesia juga sangat banyak,
hampir ribuan. Lalu, sebenarnya
agama yang ada di Indonesia juga
bahkan ratusan, dihitung dari agama
lokal. Maka, dalam rumusan UUD
1945 pasal 29 dikatakan tentang
agama dan kepercayaan,” tegasnya.
Menurutnya, kepercayaan itu
menyangkut agama-agama lokal
yang tumbuh. “Waktu itu
hidupnya harmonis, karena sejak
awal nenek moyang, kita sudah
mengenal perbedaan. Dalam
kitab Sutasoma yang dikarang
oleh Empu Tantular, dikatakan
walaupun ada seribu keyakinan,
mereka tetap bisa hidup dengan
damai secara berdampingan. Dia
mengatakan bahwa di Mojekerto
ada namanya Candi Seribu. Itu
menggambarkan tentang seribu
keyakinan Hindu-Buddha
di sini. Berarti sebenarnya,
kebhinnekaan itu sudah lama hidup
di Indonesia, tanpa masalah.
Tetapi, kelompok kecil inilah yang
merasa bahwa kelompok inilah
yang paling benar, yang lain salah,
dan membuat penyesatan di
dunia media sosial, dan juga kerap
kali kelompok ini memaksakan
kehendaknya, sehingga ideologi
yang disampaikannya bertentangan
dengan pancasila dan kebhinnekaan,”
tambahnya.
Lalu menurut Romo Benny, solusi
dari masalah kebhinnekaan ini
adalah negara harus tegas. “Ya
solusinya yang pertama adalah
negara harus tegas, artinya ideologi
yang bertentangan dengan pancasila
tidak boleh tumbuh dan berkem-
bang. Kedua, harus ada yang
namanya pendidikan literasi media
sosial, yang artinya pengguna
media sosial harus selektif, dan
bijaksana dalam membagikan
gagasan-gagasan yang bertentangan
dengan pancasila. Jadi, pengguna
media sosial harus bijaksana,
selektif,dan tidak mudah ter-
provokasi.” Literasi media sosial
ini tentu harus dimulai dari
dini, sehingga di masa depan,
anak-anak akan bijak dalam
menggunakan sosial media atau
teknologi. “Pendidikan literasi ini
harus dimulai dari tingkat sekolah
dasar,sehingga generasi muda bisa
merespon isu-isu yang provokatif
tersebut,dan tidak menyebarkan
kebencian terhadap suku dan
agama, ras serta kekerasan, jadi
ada budaya untuk melawan arus.”
sahut Sekretaris Eksekutif Komisi
Hubungan Agama dan Kepercayaan
ini.
“Selama ini kita hanya menerima
saja, dan langsung meng-share
berita tersebut,tanpa mengetahui
berita tersebut datangnya dari-
mana, apakah berita tersebut betul
atau hoax, sehingga kita dengan
mudah mampu memprovokasi
orang lain. Maka kita harus sadar
betul penggunaan media sosial,
juga harus bijak dan cerdas. Kita
harus selektif, efektif, dan tidak
mudah meng-share berita itu
kepada orang lain. Jadinya, orang
tidak mudah meng-share tanpa
data yang jelas, data yang akurat,
atau sumber beritanya tidak jelas,
sehingga tidak ada berita yang
bersifat hoax, dan kita juga tidak
langsung asal forward, atau
meresponnya. Nah inilah yang
harus generasi muda sadarkan,
yaitu kesadaran bahwa media
sosial harus digunakan secara
tepat dan kita tidak mudah menjadi
provokator.” tanggap Romo Benny
ketika ditanya soal penggunaan
media sosial yang baik.
Lalu, Romo Benny menyebutkan,
yang melawan kebhinnekaan,
melawan Pancasila, ya, kelompok
itu tidak akan menjadi besar. Jadi
mereka menjadi besar karena
mayoritas selama ini diam, tidak
mempunyai keberanian untuk
meluruskan ide-ide yang tidak
tepat untuk kebhinnekaan,”
tambahnya.
Notre Dame | Januari-Maret 2017
7