ND Magazine 17 NDMag-17 | Page 7

“Menurut saya, ancaman terbesar bagi kebhinnekaan adalah mereka yang memaksakan ideologi, bertentangan dengan Pancasila dan juga kebhinnekaan. Apalagi, menggunakan kekerasan. Bangsa Indonesia ini sudah menjadi bangsa yang bersatu, yang pada waktu sumpah pemuda sudah berjanji, sepakat bahwa kita hidup berdampingan, meskipun kita berbeda keyakinan, suku, ras, dan identitas. Suku yang terdapat di Indonesia juga sangat banyak, hampir ribuan. Lalu, sebenarnya agama yang ada di Indonesia juga bahkan ratusan, dihitung dari agama lokal. Maka, dalam rumusan UUD 1945 pasal 29 dikatakan tentang agama dan kepercayaan,” tegasnya. Menurutnya, kepercayaan itu menyangkut agama-agama lokal yang tumbuh. “Waktu itu hidupnya harmonis, karena sejak awal nenek moyang, kita sudah mengenal perbedaan. Dalam kitab Sutasoma yang dikarang oleh Empu Tantular, dikatakan walaupun ada seribu keyakinan, mereka tetap bisa hidup dengan damai secara berdampingan. Dia mengatakan bahwa di Mojekerto ada namanya Candi Seribu. Itu menggambarkan tentang seribu keyakinan Hindu-Buddha di sini. Berarti sebenarnya, kebhinnekaan itu sudah lama hidup di Indonesia, tanpa masalah. Tetapi, kelompok kecil inilah yang merasa bahwa kelompok inilah yang paling benar, yang lain salah, dan membuat penyesatan di dunia media sosial, dan juga kerap kali kelompok ini memaksakan kehendaknya, sehingga ideologi yang disampaikannya bertentangan dengan pancasila dan kebhinnekaan,” tambahnya. Lalu menurut Romo Benny, solusi dari masalah kebhinnekaan ini adalah negara harus tegas. “Ya solusinya yang pertama adalah negara harus tegas, artinya ideologi yang bertentangan dengan pancasila tidak boleh tumbuh dan berkem- bang. Kedua, harus ada yang namanya pendidikan literasi media sosial, yang artinya pengguna media sosial harus selektif, dan bijaksana dalam membagikan gagasan-gagasan yang bertentangan dengan pancasila. Jadi, pengguna media sosial harus bijaksana, selektif,dan tidak mudah ter- provokasi.” Literasi media sosial ini tentu harus dimulai dari dini, sehingga di masa depan, anak-anak akan bijak dalam menggunakan sosial media atau teknologi. “Pendidikan literasi ini harus dimulai dari tingkat sekolah dasar,sehingga generasi muda bisa merespon isu-isu yang provokatif tersebut,dan tidak menyebarkan kebencian terhadap suku dan agama, ras serta kekerasan, jadi ada budaya untuk melawan arus.” sahut Sekretaris Eksekutif Komisi Hubungan Agama dan Kepercayaan ini. “Selama ini kita hanya menerima saja, dan langsung meng-share berita tersebut,tanpa mengetahui berita tersebut datangnya dari- mana, apakah berita tersebut betul atau hoax, sehingga kita dengan mudah mampu memprovokasi orang lain. Maka kita harus sadar betul penggunaan media sosial, juga harus bijak dan cerdas. Kita harus selektif, efektif, dan tidak mudah meng-share berita itu kepada orang lain. Jadinya, orang tidak mudah meng-share tanpa data yang jelas, data yang akurat, atau sumber beritanya tidak jelas, sehingga tidak ada berita yang bersifat hoax, dan kita juga tidak langsung asal forward, atau meresponnya. Nah inilah yang harus generasi muda sadarkan, yaitu kesadaran bahwa media sosial harus digunakan secara tepat dan kita tidak mudah menjadi provokator.” tanggap Romo Benny ketika ditanya soal penggunaan media sosial yang baik. Lalu, Romo Benny menyebutkan, yang melawan kebhinnekaan, melawan Pancasila, ya, kelompok itu tidak akan menjadi besar. Jadi mereka menjadi besar karena mayoritas selama ini diam, tidak mempunyai keberanian untuk meluruskan ide-ide yang tidak tepat untuk kebhinnekaan,” tambahnya. Notre Dame | Januari-Maret 2017 7