ND Magazine 17 NDMag-17 | Page 40

Aku,Kamu,dan Kecoa Senyum manis merekah di wajah seorang gadis kecil berusia 7 tahun. Kakinya yang mungil, me- ngayuh sepeda beroda dua yang menjadi didapatnya sebagai hadiah kenaikan kelas. Udara sejuk di kawasan Beverly Hills, Amerika menerpa wajah gadis itu. Gadis kecil itu menyeberangi jalan raya yang sepi. Secara tiba-tiba, sebuah mobil mewah melaju dengan ke- cepatan tinggi dan hampir mena- brak sang gadis, Avery. “Aaaa!” Teriak Avery. Untuk menghindari mobil tersebut, Avery membelokkan sepedanya hingga menabrak tro- toar. Tubuhnya yang mungil ter- pental dari sepedanya dan jatuh tersungkur di atas trotoar. Air mata mulai membasahi pelupuk matanya, Ia menangis. Ada cairan kental berwarna merah mengalir dari lutut kanannya. Tanpa ia ketahui, seorang lelaki cilik meng- hampirinya, “Hey! Kamu kenapa? Lututmu berdarah?” Avery nampak terkejut akan kedatangan lelaki tersebut, “T-tadi ada mobil yang hampir nabrak aku. Jadi aku jatuh. Hiks…, kamu siapa ?” Lelaki itu tersenyum, “Harry Edward Maxwell. Umurku 11 tahun. Kamu?” “Aku Avery McKenzie Rolland. Aku berumur 7 tahun,” Jawab Avery sambil meringis kesakitan. Setelah perkenalan singkat tersebut, Harry mengobati luka Avery dan mereka menghabiskan waktu bersama hingga sang mentari tenggelam. 40 Notre Dame | Januari-Maret 2017 “Kamu paling suka binatang apa?” Tanya Avery. Harry sambil tersenyum, “Kecoa! Karena menurutku mereka itu lucu !” Avery tersenyum lebar, “Sama!” “Harry, kamu sepertinya bukan orang asli sini,” tanya Avery ketika mereka berdua telah sampai di sebuah taman. “Aku memang bukan dari sini. Aku orang London. Tetapi aku sedang liburan di sini. Kamu sendiri?” Tanya Harry. “Aku juga bukan dari sini. Aku berasal dari Kanada tapi aku juga sedang berlibur sepertimu,” jawab Avery sambil menatap Harry. “Eh, kamu sampai kapan berlibur di sini ?” Harry nampak berpikir lalu men- jawab, “Besok.., aku sudah harus balik ke London.” Avery nampak sedih akan kenyata- an bahwa seorang lelaki yang telah ia anggap sebagai sahabatnya akan kembali besok. Harry mengangkat dagu Avery dengan telunjuknya, “Hey, aku memang akan pergi. Tapi, aku yakin, kita akan bertemu lagi.” “Janji ?” Tanya Avery dan dijawab dengan anggukan oleh Harry. Seusai ucapan perpisahan antara Harry dengan Avery, mereka pulang ke rumah mereka masing-masing. *** Sebelas tahun berlalu. Seorang perempuan berusia 18 tahun menyeruput kopi dari gelas plastik di tangannya. Hawa dingin London menerpa dirinya. Rambut yang telah ia rapikan, kini berter- bangan karena kencangnya angin. Dengan baju khas musim dingin, ia melewati trotoar yang mulai tertutup salju. Ia melangkahkan kakinya ke sebuah apartemen di pusat kota London. Di dalam kamarnya, perempuan itu meringkuk di atas kasurnya sambil menyiapkan surat-surat yang harus ia bawa esok hari. Surat-surat itu untuk wawancara pekerjaannya. Perempuan itu, Avery. Ya, Avery pindah ke London untuk bekerja. Ia telah lulus kuliah dengan jurusan sastra di usia yang dapat dibilang muda. Besok adalah hari yang menyenangkan baginya karena ia akan melamar pekerjaan di sebuah perusahaan ternama di London. Sebenarnya banyak perusahaan yang menawarkannya pekerjaan di Kanada. Namun, ia memilih London karena ‘suatu hal’. Pagi sekali, Avery telah bangun dan telah bersiap untuk hari yang ia nanti-nanti. Dengan taksi, ia sampai di tempat tujuannya. Se- buah gedung pencakar langit den- gan konstruksi yang terlihat me- wah, kini berada tepat di depan Avery. Ia melangkahkan kakinya untuk masuk ke dalam gedung tersebut. Dengan kagum akan ge- dung tersebut, ia berjalan menuju resepsionis. “Selamat siang, ada yang bisa saya bantu?” Tanya sang