Aku,Kamu,dan Kecoa
Senyum manis merekah di wajah
seorang gadis kecil berusia 7
tahun. Kakinya yang mungil, me-
ngayuh sepeda beroda dua yang
menjadi didapatnya sebagai hadiah
kenaikan kelas. Udara sejuk di
kawasan Beverly Hills, Amerika
menerpa wajah gadis itu. Gadis
kecil itu menyeberangi jalan raya
yang sepi. Secara tiba-tiba, sebuah
mobil mewah melaju dengan ke-
cepatan tinggi dan hampir mena-
brak sang gadis, Avery. “Aaaa!”
Teriak Avery.
Untuk menghindari mobil
tersebut, Avery membelokkan
sepedanya hingga menabrak tro-
toar. Tubuhnya yang mungil ter-
pental dari sepedanya dan jatuh
tersungkur di atas trotoar. Air
mata mulai membasahi pelupuk
matanya, Ia menangis. Ada cairan
kental berwarna merah mengalir
dari lutut kanannya. Tanpa ia
ketahui, seorang lelaki cilik meng-
hampirinya, “Hey! Kamu kenapa?
Lututmu berdarah?”
Avery nampak terkejut akan
kedatangan lelaki tersebut, “T-tadi
ada mobil yang hampir nabrak
aku. Jadi aku jatuh. Hiks…, kamu
siapa ?”
Lelaki itu tersenyum, “Harry
Edward Maxwell. Umurku 11
tahun. Kamu?”
“Aku Avery McKenzie Rolland.
Aku berumur 7 tahun,” Jawab
Avery sambil meringis kesakitan.
Setelah perkenalan singkat tersebut,
Harry mengobati luka Avery dan
mereka menghabiskan waktu
bersama hingga sang mentari
tenggelam.
40 Notre Dame | Januari-Maret 2017
“Kamu paling suka binatang apa?”
Tanya Avery.
Harry sambil tersenyum, “Kecoa!
Karena menurutku mereka itu
lucu !”
Avery tersenyum lebar,
“Sama!”
“Harry, kamu sepertinya bukan
orang asli sini,” tanya Avery
ketika mereka berdua telah sampai
di sebuah taman.
“Aku memang bukan dari sini.
Aku orang London. Tetapi aku
sedang liburan di sini. Kamu
sendiri?” Tanya Harry.
“Aku juga bukan dari sini. Aku
berasal dari Kanada tapi aku
juga sedang berlibur sepertimu,”
jawab Avery sambil menatap
Harry. “Eh, kamu sampai kapan
berlibur di sini ?”
Harry nampak berpikir lalu men-
jawab, “Besok.., aku sudah harus
balik ke London.”
Avery nampak sedih akan kenyata-
an bahwa seorang lelaki yang
telah ia anggap sebagai sahabatnya
akan kembali besok.
Harry mengangkat dagu Avery
dengan telunjuknya, “Hey, aku
memang akan pergi. Tapi, aku
yakin, kita akan bertemu lagi.”
“Janji ?” Tanya Avery dan dijawab
dengan anggukan oleh Harry.
Seusai ucapan perpisahan antara
Harry dengan Avery, mereka
pulang ke rumah mereka
masing-masing.
***
Sebelas tahun berlalu. Seorang
perempuan berusia 18 tahun
menyeruput kopi dari gelas
plastik di tangannya. Hawa dingin
London menerpa dirinya. Rambut
yang telah ia rapikan, kini berter-
bangan karena kencangnya angin.
Dengan baju khas musim dingin,
ia melewati trotoar yang mulai
tertutup salju. Ia melangkahkan
kakinya ke sebuah apartemen di
pusat kota London.
Di dalam kamarnya, perempuan
itu meringkuk di atas kasurnya
sambil menyiapkan surat-surat
yang harus ia bawa esok hari.
Surat-surat itu untuk wawancara
pekerjaannya. Perempuan itu,
Avery. Ya, Avery pindah ke
London untuk bekerja. Ia telah
lulus kuliah dengan jurusan
sastra di usia yang dapat dibilang
muda. Besok adalah hari yang
menyenangkan baginya karena
ia akan melamar pekerjaan di
sebuah perusahaan ternama
di London. Sebenarnya banyak
perusahaan yang menawarkannya
pekerjaan di Kanada. Namun, ia
memilih London karena ‘suatu
hal’.
Pagi sekali, Avery telah bangun
dan telah bersiap untuk hari yang
ia nanti-nanti. Dengan taksi, ia
sampai di tempat tujuannya. Se-
buah gedung pencakar langit den-
gan konstruksi yang terlihat me-
wah, kini berada tepat di depan
Avery. Ia melangkahkan kakinya
untuk masuk ke dalam gedung
tersebut. Dengan kagum akan ge-
dung tersebut, ia berjalan menuju
resepsionis. “Selamat siang, ada
yang bisa saya bantu?” Tanya sang