sana Respati memperoleh banyak
pengalaman mengenai kedisiplinan,
spritualitas dan kasih sayang ter-
hadap sesama manusia. Nilai-nilai
inilah yang kemudian membuatnya
memutuskan untuk bekerja
di Sekolah Notre Dame selepas
meraih sarjana di Universitas Sanata
Dharma. Beliau berpandangan
bahwa prinsip agama sebenarnya
adalah sama. Ia dikenal tak pernah
segan menegur murid-muridnya
yang tidak berdoa atau mengikuti
misa dengan khusyuk. “Saya tidak
ikut berdoa, tetapi tugas saya adalah
memastikan bahwa murid-murid
saya berdoa,” katanya sembari
tersenyum. Maka jangan heran, jika
namanya disebut sebagai salah satu
guru yang paling ‘berbahaya’ oleh
para siswa yang tidak serius pada
waktu perayaan Ekaristi maupun
doa pagi. Walaupun diskriminasi
tidak pernah dirasakannya di
tempatnya berkarir, ia mengaku
semakin merasakan jarak antara
perbedaan yang ada di dalam
masyarakat belakangan ini. Khusus-
nya pada masa menjelang Pilkada.
Banyak sekali permasalahan mengenai
suku, ras dan agama yang tengah
berlangsung. “Sekarang ini yang
paling sulit adalah untuk menemukan
tokoh negarawan yang berpijak ke-
pada semua,” tambahnya. Seorang
negarawan yang mencerminkan
bahwa Indonesia itu satu, tidak
memandang perbedaan.
Menurutnya, berbagai konflik me-
nyangkut perbedaan ini adalah
salah satu hasil dari kegagalan
pendidikan. Pendidikan tersebut
pertama-tama dimulai dari keluarga,
kemudian sekolah dan masyarakat,
hingga sampai ke pemerintahan.
Seorang anak seharusnya sudah
dapat dipersiapkan sejak dini,
bahwa kita semua memang ber-
beda. Contohnya, si anak yang
berasal dari Jawa dapat diajari
tata budaya, dan adat istiadat dari
teman-temannya yang berasal dari
suku Batak atau Tionghoa. “Kemu-
dian ditekankan, bahwa semua
budaya tersebut mengandung
kebaikan. Kebaikan inilah yang ha-
rus kita satukan,” kata bapak dari
dua orang anak ini. Oleh karena
itu, Respati berpendapat perbe-
daan keyakinan atau agama yang
kita miliki seharusnya tidak perlu
ditonjolkan. Dia mengumpama-
kannya seperti sepiring nasi
goreng. Diri kita sebagai makanan,
sedangkan agama merupakan cara
kita meracik bumbunya. Setiap
orang tentu memiliki cara meracik
bumbu yang berbeda. Meski berbeda,
yang dirasakan tetaplah nasi
gorengnya. “Jadi kalau saya enak
sama kamu, ya kamu tidak perlu
menanyakan lagi kualitas agama
saya,” imbuhnya.
Agama memang berfungsi sebagai
pedoman dan tempat manusia
berteguh, namun menganut agama
atau keyakinan tertentu bukanlah
penentu ‘rasa’ atau kualitas dari
diri seseorang. Bukankah sia-sia,
apabila seorang pemimpin agama
tidak mencerminkan ajaran kebaikan
dari agamanya sendiri? Atau,
seorang teman yang rajin berdoa
seringkali mengejek atau menyakiti
hati teman-teman yang berbeda
dengan dirinya? Melalui perumpamaan
tersebut, beliau ingin menekankan
bahwa rasa nyaman kita bersama
dengan orang lain sesungguhnya
berasal dari tingkah laku, bukan
agama orang tersebut. Bukanlah
perkara yang mudah untuk mem-
buat masyarakat benar-benar
dapat menikmati adanya beraneka
ragam suku, ras, agama dan adat
istiadat dalam bangsa ini. Namun,
bukan hal yang mustahil pula untuk
memupuknya perlahan-lahan.
“Pertama, pahami bahwa setiap
orang punya keunikannya sendiri,”
saran pria berkacamata ini. Dengan
saling memahami keunikan satu
sama lain, kita akan menumbuhkan
rasa hormat terhadap perbedaan
yang ada. Kedua, komunikasi yang
harus kita bina. Komunikasi ini
adalah hal yang paling pokok dalam
membina hubungan kita dengan
orang lain. “Saya pun masih banyak
belajar,” akunya ketika diwawancarai
beberapa waktu lalu. Ia berpesan,
kita harus memastikan bahwa apa
yang kita sampaikan dapat dimengerti,
juga tidak menyakiti perasaan
orang lain. Pastikan bahwa tidak
ada kesalahpahaman yang terjadi
di antara kedua belah pihak. “Karena
itu, saya selalu mengusahakan untuk
tatap muka ketika berkomunikasi,”
tambahnya.
Lalu, bagaimana cara menangani
isu-isu yang beredar di media?
Nah, era media digital ini memang
sangat memudahkan kita dalam
menemukan berbagai informasi.
Kendati begitu, kecanggihan tersebut
tidak menjamin bahwa informasi
yang kita terima sudah pasti benar.
Kita harus bertindak cerdas dan
kritis dalam memilah mana informasi
yang benar-benar dapat kita
percaya. Kepercayaan dan latar
belakang setiap orang memang
berbeda. Namun, hal tersebut
bukanlah alasan untuk menghilangkan
perbedaan-perbedaan tersebut
demi menguatkan persatuan bangsa.
Justru, keberagaman inilah yang
citarasanya harus kita nikmati ber-
sama. Seperti kutipan dari pidato
Ir. Soekarno yang berbunyi:
“Mulailah dari diri sendiri.” Mulai
dari diri kitalah, Indonesia yang
Bhinneka Tunggal Ika dapat ter-
wujud kembali. Jangan sampai
persatuan Tanah Air yang dulu kita
perjuangkan, terpecah-belah karena
kesalahpahaman belaka.
Astrid Suwanda (7D),
Janice Ep. (7D),
Carla Kadhita (7B),
Theresia Sunina (7D), Vania (XI).
Notre Dame | Januari-Maret 2017
13