ND Magazine 17 NDMag-17 | Page 13

sana Respati memperoleh banyak pengalaman mengenai kedisiplinan, spritualitas dan kasih sayang ter- hadap sesama manusia. Nilai-nilai inilah yang kemudian membuatnya memutuskan untuk bekerja di Sekolah Notre Dame selepas meraih sarjana di Universitas Sanata Dharma. Beliau berpandangan bahwa prinsip agama sebenarnya adalah sama. Ia dikenal tak pernah segan menegur murid-muridnya yang tidak berdoa atau mengikuti misa dengan khusyuk. “Saya tidak ikut berdoa, tetapi tugas saya adalah memastikan bahwa murid-murid saya berdoa,” katanya sembari tersenyum. Maka jangan heran, jika namanya disebut sebagai salah satu guru yang paling ‘berbahaya’ oleh para siswa yang tidak serius pada waktu perayaan Ekaristi maupun doa pagi. Walaupun diskriminasi tidak pernah dirasakannya di tempatnya berkarir, ia mengaku semakin merasakan jarak antara perbedaan yang ada di dalam masyarakat belakangan ini. Khusus- nya pada masa menjelang Pilkada. Banyak sekali permasalahan mengenai suku, ras dan agama yang tengah berlangsung. “Sekarang ini yang paling sulit adalah untuk menemukan tokoh negarawan yang berpijak ke- pada semua,” tambahnya. Seorang negarawan yang mencerminkan bahwa Indonesia itu satu, tidak memandang perbedaan. Menurutnya, berbagai konflik me- nyangkut perbedaan ini adalah salah satu hasil dari kegagalan pendidikan. Pendidikan tersebut pertama-tama dimulai dari keluarga, kemudian sekolah dan masyarakat, hingga sampai ke pemerintahan. Seorang anak seharusnya sudah dapat dipersiapkan sejak dini, bahwa kita semua memang ber- beda. Contohnya, si anak yang berasal dari Jawa dapat diajari tata budaya, dan adat istiadat dari teman-temannya yang berasal dari suku Batak atau Tionghoa. “Kemu- dian ditekankan, bahwa semua budaya tersebut mengandung kebaikan. Kebaikan inilah yang ha- rus kita satukan,” kata bapak dari dua orang anak ini. Oleh karena itu, Respati berpendapat perbe- daan keyakinan atau agama yang kita miliki seharusnya tidak perlu ditonjolkan. Dia mengumpama- kannya seperti sepiring nasi goreng. Diri kita sebagai makanan, sedangkan agama merupakan cara kita meracik bumbunya. Setiap orang tentu memiliki cara meracik bumbu yang berbeda. Meski berbeda, yang dirasakan tetaplah nasi gorengnya. “Jadi kalau saya enak sama kamu, ya kamu tidak perlu menanyakan lagi kualitas agama saya,” imbuhnya. Agama memang berfungsi sebagai pedoman dan tempat manusia berteguh, namun menganut agama atau keyakinan tertentu bukanlah penentu ‘rasa’ atau kualitas dari diri seseorang. Bukankah sia-sia, apabila seorang pemimpin agama tidak mencerminkan ajaran kebaikan dari agamanya sendiri? Atau, seorang teman yang rajin berdoa seringkali mengejek atau menyakiti hati teman-teman yang berbeda dengan dirinya? Melalui perumpamaan tersebut, beliau ingin menekankan bahwa rasa nyaman kita bersama dengan orang lain sesungguhnya berasal dari tingkah laku, bukan agama orang tersebut. Bukanlah perkara yang mudah untuk mem- buat masyarakat benar-benar dapat menikmati adanya beraneka ragam suku, ras, agama dan adat istiadat dalam bangsa ini. Namun, bukan hal yang mustahil pula untuk memupuknya perlahan-lahan. “Pertama, pahami bahwa setiap orang punya keunikannya sendiri,” saran pria berkacamata ini. Dengan saling memahami keunikan satu sama lain, kita akan menumbuhkan rasa hormat terhadap perbedaan yang ada. Kedua, komunikasi yang harus kita bina. Komunikasi ini adalah hal yang paling pokok dalam membina hubungan kita dengan orang lain. “Saya pun masih banyak belajar,” akunya ketika diwawancarai beberapa waktu lalu. Ia berpesan, kita harus memastikan bahwa apa yang kita sampaikan dapat dimengerti, juga tidak menyakiti perasaan orang lain. Pastikan bahwa tidak ada kesalahpahaman yang terjadi di antara kedua belah pihak. “Karena itu, saya selalu mengusahakan untuk tatap muka ketika berkomunikasi,” tambahnya. Lalu, bagaimana cara menangani isu-isu yang beredar di media? Nah, era media digital ini memang sangat memudahkan kita dalam menemukan berbagai informasi. Kendati begitu, kecanggihan tersebut tidak menjamin bahwa informasi yang kita terima sudah pasti benar. Kita harus bertindak cerdas dan kritis dalam memilah mana informasi yang benar-benar dapat kita percaya. Kepercayaan dan latar belakang setiap orang memang berbeda. Namun, hal tersebut bukanlah alasan untuk menghilangkan perbedaan-perbedaan tersebut demi menguatkan persatuan bangsa. Justru, keberagaman inilah yang citarasanya harus kita nikmati ber- sama. Seperti kutipan dari pidato Ir. Soekarno yang berbunyi: “Mulailah dari diri sendiri.” Mulai dari diri kitalah, Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika dapat ter- wujud kembali. Jangan sampai persatuan Tanah Air yang dulu kita perjuangkan, terpecah-belah karena kesalahpahaman belaka. Astrid Suwanda (7D), Janice Ep. (7D), Carla Kadhita (7B), Theresia Sunina (7D), Vania (XI). Notre Dame | Januari-Maret 2017 13