My first Magazine hadila september | Page 63

FIKSI menyegarkan tubuh juga pikiran yang masih kalut. “Paman bilang sore ini juga ada yang ditangkap. Tapi kalau laptop, handphone, dan dompet yang spesi- fikasinya mirip dengan milikmu tidak ada, Mir.” Jelas Ummu. Aku mendengus kesal. Tiket kere- taku raib dibawa penjambret tersebut. Seperti saran Azka, sebaiknya aku segera menghubungi ayah. “Semoga barangnya ditemukan ya, Mir. Kalau masih menjadi rezekimu, nanti juga kembali. Besok ayah jem- put saja,” kata ayah menenangkanku. Tak ada nada marah yang terdengar, tetapi aku tetap merasa bersalah. Aku segera tidur setelah menunaikan Salat Isya. Kupastikan tak ada satupun ba- rang yang tertinggal. Aku masih bisa membereskan rumah sambil menung- gu kedatangan ayah yang menempuh perjalanan 2,5 jam. “Kamu sapu lantai ya, Mir. Nanti aku yang mengepel.” Kata Azka mem- bagi pekerjaan. Kubersihkan setiap ru- angan dan memastikan barang-barang rapi pada tempatnya. Aku mendapati benda berwarna hitam di atas meja di beranda rumah. Dompet warna hitam milikku. Tak serupiah pun uang tertinggal di dalamnya. Tersisa kartu mahasiswa, KTP, kartu ATM, SIM , dan STNK. “Um, Azka. Dompetnya ditaruh di beranda.” Azka dan Ummu keluar dari pintu sambil membenarkan jil- babnya. Kutunjukkan isi dompetnya. “Ikhlaskan Mir. Semua yang kita miliki hanya titipan dari-Nya. Kalau titipan itu diambil, kita harus rela. Anggap saja sedekah,” kata Azka. Terkadang manusia lupa bahwa rezeki yang Allah titipkan kepada kita, ada hak orang lain di dalamnya. Aku pun mengikhlaskan yang telah hilang, anggap saja sedekah. <> Kirimkan cerpen Sahabat, maksimal 6500 karakter (dengan spasi) ke email [email protected] 63 | September 2018 | Edisi 135