FIKSI
menyegarkan tubuh juga pikiran yang
masih kalut.
“Paman bilang sore ini juga ada
yang ditangkap. Tapi kalau laptop,
handphone, dan dompet yang spesi-
fikasinya mirip dengan milikmu tidak
ada, Mir.” Jelas Ummu.
Aku mendengus kesal. Tiket kere-
taku raib dibawa penjambret tersebut.
Seperti saran Azka, sebaiknya aku
segera menghubungi ayah.
“Semoga barangnya ditemukan ya,
Mir. Kalau masih menjadi rezekimu,
nanti juga kembali. Besok ayah jem-
put saja,” kata ayah menenangkanku.
Tak ada nada marah yang terdengar,
tetapi aku tetap merasa bersalah. Aku
segera tidur setelah menunaikan Salat
Isya.
Kupastikan tak ada satupun ba-
rang yang tertinggal. Aku masih bisa
membereskan rumah sambil menung-
gu kedatangan ayah yang menempuh
perjalanan 2,5 jam.
“Kamu sapu lantai ya, Mir. Nanti
aku yang mengepel.” Kata Azka mem-
bagi pekerjaan. Kubersihkan setiap ru-
angan dan memastikan barang-barang
rapi pada tempatnya. Aku mendapati
benda berwarna hitam di atas meja di
beranda rumah. Dompet warna hitam
milikku. Tak serupiah pun uang
tertinggal di dalamnya. Tersisa kartu
mahasiswa, KTP, kartu ATM, SIM ,
dan STNK.
“Um, Azka. Dompetnya ditaruh
di beranda.” Azka dan Ummu keluar
dari pintu sambil membenarkan jil-
babnya. Kutunjukkan isi dompetnya.
“Ikhlaskan Mir. Semua yang kita
miliki hanya titipan dari-Nya. Kalau
titipan itu diambil, kita harus rela.
Anggap saja sedekah,” kata Azka.
Terkadang manusia lupa bahwa
rezeki yang Allah titipkan kepada kita,
ada hak orang lain di dalamnya. Aku
pun mengikhlaskan yang telah hilang,
anggap saja sedekah. <>
Kirimkan cerpen Sahabat, maksimal 6500 karakter
(dengan spasi) ke email [email protected]
63 |
September 2018 | Edisi 135