My first Magazine hadila september | Page 62

FIKSI menikmati semangkuk es buah di ruang makan. “Masih mengantuk, Mir?” tanya Ummu membuka percakapan. Aku hanya menggeleng. “Besok mau pulang ke Semarang jam berapa?” Azka menyambung. “Jam delapan pagi rencananya.” Ikan kakap bakar berbalur madu menggoda selera makan, seperti biasa kami memilih Salat Magrib berjamaah sebelum menyantap makanan berat. Usai salat aku teringat laptop dan handphone yang masih di dalam tas sejak sampai kos tadi. Tasku terasa ringan, hanya ada papan ujian, buku, dan kotak pensil. Kemudian kubuka lemari kecil di samping tempat tidur. Namun, tak kutemui laptop dan hand- phone. Sekali lagi, aku mencari sambil mengingat-ingat terakhir kali benda itu bersamaku. “Apakah kalian lihat laptop dan handphoneku?” tanyaku pada Ummu dan Azka yang asyik menikmati kakap bakar. “Nggak tahu.” Jawab Azka sambil menggeleng. “Bukannya tadi kamu bawa ke kamhus?” sambung Ummu. “Belum kukeluarkan dari tas sejak tadi,” jelasku panik. Ummu dan Azka saling pandang. Mereka tak memiliki jawaban dan segera membantuku mencari laptop dan handphoneku di setiap ruangan. Aku pun tak mene- mukan dompet warna hitam di dalam tas. Seketika jantungku berdetak lebih cepat. Tenggorokanku serasa terkun- ci dan napasku tertahan. Perlahan pipiku terasa panas dan mataku mulai sembab, kemudian aku menangis. “Mirna, jangan menangis dulu. Mungkin kamu lupa menaruh.” Hi- bur Azka. Ummu memasuki kamar. Dia menggelengkan kepala sebagai 62 | |September 2018 | Edisi 135 isyarat tak menemukan apapun. Kami bertiga menyadari, hand- phone, laptop, dan dompet tersebut hilang di luar kos. Azka dan Ummu membiarkanku menangis beberapa saat. Ingatanku kembali pada pusat grosir pakaian yang tadi siang kuku- njungi. Perlahan kepingan peristiwa muncul dalam ingatanku, hingga terangkai utuh. Aku mengingatnya dengan jelas. Azka dan aku berpisah di depan toko tas batik. Dari situlah seluruh kejadian berawal. Bibirku terasa kelu menceritakan peristiwa itu pada Azka dan Ummu. Mengingat esok aku harus kembali ke kampung halaman, aku merasa tak sanggup untuk pulang dan menceri- takannya pada ayah dan ibu. “Tadi Um, setelah kita berpisah di depan toko tas.” Aku menarik napas, berusaha tenang. “Laki-laki muda berjaket hitam, topi coklat meng- hampiriku sambil menepuk bahu kananku. Dia bertanya lokasi lapak kemeja batik, seseorang menunggunya di sana, katanya. Lalu dia meminjam handphoneku, laptop, kemudian ingin meminjam uang, kuberikan domp- etku. Aku tak menyadari laki-laki itu meninggalkanku tanpa mengembali- kan semuanya.” Tangisku kembali pec- ah. Semua terjadi di luar kesadaran- ku. Bahkan aku tak ingat kejadian itu sepanjang sore. “Sekarang harus bagaimana?” tanya Azka pada Ummu. “Pamanku beberapa hari ini menginterogasi pencopet di kantorn- ya. Kuhubungi dulu ya.” Ummu menghubungi pamannya lewat whatsapp, pencurian sering terjadi akhir-akhir ini. Ketimpangan ekonomi mungkin menjadi penye- babnya. Azan Isya berkumandang dan aku selesai membersihkan diri. Menyiram ujung rambut hingga kaki,