FIKSI
menikmati semangkuk es buah di
ruang makan.
“Masih mengantuk, Mir?” tanya
Ummu membuka percakapan. Aku
hanya menggeleng.
“Besok mau pulang ke Semarang
jam berapa?” Azka menyambung.
“Jam delapan pagi rencananya.”
Ikan kakap bakar berbalur madu
menggoda selera makan, seperti biasa
kami memilih Salat Magrib berjamaah
sebelum menyantap makanan berat.
Usai salat aku teringat laptop dan
handphone yang masih di dalam tas
sejak sampai kos tadi. Tasku terasa
ringan, hanya ada papan ujian, buku,
dan kotak pensil. Kemudian kubuka
lemari kecil di samping tempat tidur.
Namun, tak kutemui laptop dan hand-
phone. Sekali lagi, aku mencari sambil
mengingat-ingat terakhir kali benda
itu bersamaku.
“Apakah kalian lihat laptop dan
handphoneku?” tanyaku pada Ummu
dan Azka yang asyik menikmati kakap
bakar.
“Nggak tahu.” Jawab Azka sambil
menggeleng.
“Bukannya tadi kamu bawa ke
kamhus?” sambung Ummu.
“Belum kukeluarkan dari tas sejak
tadi,” jelasku panik. Ummu dan Azka
saling pandang. Mereka tak memiliki
jawaban dan segera membantuku
mencari laptop dan handphoneku di
setiap ruangan. Aku pun tak mene-
mukan dompet warna hitam di dalam
tas. Seketika jantungku berdetak lebih
cepat. Tenggorokanku serasa terkun-
ci dan napasku tertahan. Perlahan
pipiku terasa panas dan mataku mulai
sembab, kemudian aku menangis.
“Mirna, jangan menangis dulu.
Mungkin kamu lupa menaruh.” Hi-
bur Azka. Ummu memasuki kamar.
Dia menggelengkan kepala sebagai
62 |
|September 2018 | Edisi 135
isyarat tak menemukan apapun.
Kami bertiga menyadari, hand-
phone, laptop, dan dompet tersebut
hilang di luar kos. Azka dan Ummu
membiarkanku menangis beberapa
saat. Ingatanku kembali pada pusat
grosir pakaian yang tadi siang kuku-
njungi. Perlahan kepingan peristiwa
muncul dalam ingatanku, hingga
terangkai utuh. Aku mengingatnya
dengan jelas. Azka dan aku berpisah
di depan toko tas batik. Dari situlah
seluruh kejadian berawal.
Bibirku terasa kelu menceritakan
peristiwa itu pada Azka dan Ummu.
Mengingat esok aku harus kembali ke
kampung halaman, aku merasa tak
sanggup untuk pulang dan menceri-
takannya pada ayah dan ibu.
“Tadi Um, setelah kita berpisah di
depan toko tas.” Aku menarik napas,
berusaha tenang. “Laki-laki muda
berjaket hitam, topi coklat meng-
hampiriku sambil menepuk bahu
kananku. Dia bertanya lokasi lapak
kemeja batik, seseorang menunggunya
di sana, katanya. Lalu dia meminjam
handphoneku, laptop, kemudian ingin
meminjam uang, kuberikan domp-
etku. Aku tak menyadari laki-laki itu
meninggalkanku tanpa mengembali-
kan semuanya.” Tangisku kembali pec-
ah. Semua terjadi di luar kesadaran-
ku. Bahkan aku tak ingat kejadian itu
sepanjang sore.
“Sekarang harus bagaimana?”
tanya Azka pada Ummu.
“Pamanku beberapa hari ini
menginterogasi pencopet di kantorn-
ya. Kuhubungi dulu ya.”
Ummu menghubungi pamannya
lewat whatsapp, pencurian sering
terjadi akhir-akhir ini. Ketimpangan
ekonomi mungkin menjadi penye-
babnya. Azan Isya berkumandang
dan aku selesai membersihkan diri.
Menyiram ujung rambut hingga kaki,