FIKSI
Ketabahan
Aina
S
epuluh hari menjelang leb-
aran tak terhitung kendaraan
merayap di jalan raya siang
itu. Pusat-pusat perbelanjaan
menjadi tempat yang dimina-
ti oleh masyarakat dari berbagai usia.
Bahu jalan beralih menjadi tempat
parkir. Namun, beberapa orang
mengurungkan niat ketika mobilnya
mendapat tempat parkir yang jaraknya
jauh dari pusat perbelanjaan.
Usai Salat Asar, aku dan Ummu
bergegas pulang. Kami menyeberangi
jalan menuju halte dengan hati-hati
di antara puluhan kendaraan yang
berjajar untuk berjalan. Hari ini hari
terakhir ujian akhir semester di kam-
pus. Sebelum pulang kampung, kami
mengunjungi pusat grosir pakaian.
Sekadar untuk membeli satu stel baju
dan menyaksikan keramaian aktivitas
kota.
Bus biru yang kami tunggu datang.
Hanya ada delapan penumpang
sehingga kami bebas memilih tempat
duduk. Bus berjalan pelan di tengah
kemacetan. Dari jendela kaca kami
menyaksikan lalu-lalang kendaraan
dan manusia yang bertebaran. Tiga
puluh menit berlalu. Kami turun di
halte depan kampus. Hanya lima men-
it untuk kami berjalan kaki menuju
kos.
Azka menyambut kedatangan
kami ketika dia menata hidangan
untuk makan malam.
“Jilbab pesananku tidak lupa
kan, Mir?”
“Tidak. Warnanya kurang
pas menurutku. Tapi bagus.” Kuberi-
kan plastik kecil berisi jilbab pesanan
Azka. Dia pun segera mematut jilbabn-
ya di depan cermin. Aku segera masuk
kamar. Hari ini terasa lelah setelah
merasakan teriknya matahari. Kunyala-
kan kipas angin lalu merebahkan diri
di atas n yamannya kasur. Kami bertiga
menyewa rumah berukuran 5x9 m
yang jaraknya 100 meter dari kampus.
“Bangun Mir, sudah azan.” Ke-
palaku terasa berat dan pandangan
mataku kabur. Kumandang azan
samar-samar terdengar ketika Azka
membangunkanku. Tidak biasanya
aku tidur pulas setelah Asar. Denting
sendok sesekali mengisi di tengah
lantunan azan yang suaranya bergan-
tian. Azka dan Ummu lebih dulu
61 |
September 2018 | Edisi 135