My first Magazine hadila september | Page 61

FIKSI Ketabahan Aina S epuluh hari menjelang leb- aran tak terhitung kendaraan merayap di jalan raya siang itu. Pusat-pusat perbelanjaan menjadi tempat yang dimina- ti oleh masyarakat dari berbagai usia. Bahu jalan beralih menjadi tempat parkir. Namun, beberapa orang mengurungkan niat ketika mobilnya mendapat tempat parkir yang jaraknya jauh dari pusat perbelanjaan. Usai Salat Asar, aku dan Ummu bergegas pulang. Kami menyeberangi jalan menuju halte dengan hati-hati di antara puluhan kendaraan yang berjajar untuk berjalan. Hari ini hari terakhir ujian akhir semester di kam- pus. Sebelum pulang kampung, kami mengunjungi pusat grosir pakaian. Sekadar untuk membeli satu stel baju dan menyaksikan keramaian aktivitas kota. Bus biru yang kami tunggu datang. Hanya ada delapan penumpang sehingga kami bebas memilih tempat duduk. Bus berjalan pelan di tengah kemacetan. Dari jendela kaca kami menyaksikan lalu-lalang kendaraan dan manusia yang bertebaran. Tiga puluh menit berlalu. Kami turun di halte depan kampus. Hanya lima men- it untuk kami berjalan kaki menuju kos. Azka menyambut kedatangan kami ketika dia menata hidangan untuk makan malam. “Jilbab pesananku tidak lupa kan, Mir?” “Tidak. Warnanya kurang pas menurutku. Tapi bagus.” Kuberi- kan plastik kecil berisi jilbab pesanan Azka. Dia pun segera mematut jilbabn- ya di depan cermin. Aku segera masuk kamar. Hari ini terasa lelah setelah merasakan teriknya matahari. Kunyala- kan kipas angin lalu merebahkan diri di atas n yamannya kasur. Kami bertiga menyewa rumah berukuran 5x9 m yang jaraknya 100 meter dari kampus. “Bangun Mir, sudah azan.” Ke- palaku terasa berat dan pandangan mataku kabur. Kumandang azan samar-samar terdengar ketika Azka membangunkanku. Tidak biasanya aku tidur pulas setelah Asar. Denting sendok sesekali mengisi di tengah lantunan azan yang suaranya bergan- tian. Azka dan Ummu lebih dulu 61 | September 2018 | Edisi 135