PENGALAMAN RoHANI
M
ayoritas umat muslim
pasti ingin menjadi
tamu Allah di Tanah
Suci. Meski beberapa
waktu lalu aku belum
mendapat kesempatan itu, aku yakin
suatu saat entah kapan akan akan
meraih kesempatan itu. Pertanyaan
yang hadir kemudian, “Pantaskah aku
menjadi tamu-Nya kelak? Kapankah?”
Walau sungguh, dalam benakku hal itu
masih mimpi. Mimpi yang masih terlalu
muluk buatku untuk menjadi nyata.
Hingga pada suatu waktu, tak
berselang lama. Aku yang kemarin
sangat menyangsikan “mimpi”
itu. Tiba-tiba tersadar, aku telah
menyangsikan Allah, aku telah
meragukan Allah Swt, dan telah pernah
menganggap bahwa keinginanku ke
baitullah adalah sesuatu yang muluk-
muluk.
Allah mengizinkanku pergi umrah
melalui inisiatif dan bantuan kakak-
kakak ipar dan orangtuaku. Tak
kuduga akan secepat itu. Hatiku
berdebar. Bahagia, haru, tapi takut.
Aku sangat bahagia karena aku tidak
sendiri. Ada dua orangtua kandungku
bersamaku. Tapi aku takut karena
kondisi finansialku. Dan entah kenapa
ada rasa ragu terhadap orangtuaku,
terutama bapak yang agak sakit-sakitan.
Aku merasa bahwa beliau berdua harus
kudampingi. Setelahnya baru kusadari
bahwa niatku ini berarti belum lurus.
Ibu yang lebih cekatan daripada
bapak dan biasanya tangguh mandiri,
begitu tiba di Tanah Suci sepertinya
malah menimbulkan banyak hal
yang sempat membuatku gemas. Aku
54 |
|September 2018 | Edisi 135
menangis saat di masjid. Kuluruskan
niat bahwa aku umrah untuk
beribadah, karena Allah saja. Memang
Allah mendatangkan ujian padaku
melalui ibu. Aku segera tersadar
dan mohon ampun, serta memohon
kesehatan untuk ibu. Berikutnya
alhamdulillah ibu enerjik seperti biasa.
Bahkan berhasil naik ke Jabal Nuur,
meski tidak sampai puncak atas saranku
mempertimbangkan fisik ibu.
Tak cuma itu, beberapa orang asing
sepuh dari Pakistan, Malaysia, bahkan
beberapa negara Eropa, sering minta
tolong aku untuk mengambilkan
mushaf, atau sekadar minta dibantu
berdiri. Bahasa Inggris terbatasku
alhamdulillah bisa kumanfaatkan
untuk berkomunikasi dengan mereka.
Aku sangat takjub dan malu. Memang
saat di Tanah Air, aku pernah minta
kepada Allah untuk diberi kesempatan
menolong banyak orang selama
di Tanah Suci. Benar-benar Allah
memberikan sekaligus mungkin
mengujiku, sehingga aku selalu
berusaha mensyukuri ujian-ujian itu.
Pelajaran berharga yang kupetik
selama di Tanah Suci adalah bahwa kita
harus khusnuzon setiap saat. Hal itulah
yang sangat penting untuk selalu terjaga
di dalam hati. Allah menurutkan kata
hati hamba-Nya. Segala hal positif yang
kita pikirkan dan kita lakukan, maka
itulah yang kita peroleh. Begitupun
sebaliknya. Tentu manusia tidak luput
dari salah dan lupa. Segera mohon
ampun adalah tindakan paling tepat,
sehingga Allah segera memberi solusi
dan menuntun kita kembali ke
jalan-Nya. Aamin yaa robbal’alamiin.
Wallahu’alam. <>