FOKUS UTAMA
MAIMON HERAWATI
Dosen Universitas
Padjadjaran Bandung
Dulu banyak yang berkata, nanti
para gadis ini akan mengerti betapa
sangat berharganya masa jelong-jelong
kala muda. Jika sudah menikah, waktu
bukan milikmu lagi. Apalagi sudah
memiliki anak. Wassalam segala santei
di pantei. Nikmati, kata mereka, selagi
bisa.
Kalimat itu hanya saya senyumi.
Satu, karena saya saat itu sudah super
sibuk. Pergi pagi dari kos, pulang pagi
lagi. Maklum sedang berkarier sebagai
mahasiswi aktivis. Dua, karena saya
sudah terbiasa dengan ritme calon
wartawan dengan lagu kebangsaan
‘begadang aku begadang.’ Paling, sesekali
curi waktu untuk istirahat siang. Jadi,
apanya yang akan dinikmati?
Ketika menikah, punya anak di
negeri orang, sambil kuliah S2 full time,
di situ saya paham keharusan mengejar
berkah pagi. Anak kedua usia 5 bulan,
yang pertama 2 tahun 3 bulan, kuliah
dari pagi sampai sore. Masih memberi
ASI tanpa makanan tambahan. Suami
juga sedang pendidikan S3. Tanpa
restoran siap saji, tanpa pembantu. Apa
akal?
Kami mencari rumah yang
terjangkau dompet, tak jauh dari
kampus. Jika berlari pulang, 15 menit
sampai lah. Lari ya. Maka ritme
kehidupan saya seperti ini: berangkat
kuliah pukul 08.45; selesai kelas
pertama lari ke rumah; susui anak
kedua, beri botol susu anak pertama
sambil bawa mereka tidur siang;
mereka tertidur, saya berlari ke kelas
kedua sampai pukul empat lebih; sore
pulang ke rumah; ambil alih anak,
suami ke ruang kerja, melanjutkan riset
computing chemistry-nya.
16 |
|September 2018 | Edisi 135
Masa siang itu bagi saya mirip
masa kecebur di laut tanpa pelampung;
asal tidak tenggelam. Pokoknya asal
bisa bernapas saja. Malam, biasanya
tepat dini hari bangun. Jam 12 itu,
antara hari kemarin dan esok, saya
mengerjakan persiapan hidup esoknya.
Memasukkan cucian ke mesin, masak
nasi bubur untuk balita, memasak lauk
untuk suami, jemur kain basah dan
lipat yang kemarin. Semua itu disambi
dengan membaca literatur, menulis
tugas. Sampai Subuh.
Begitu pukul enam, saya milik dua
anak kecil itu. Dan berulang kembali
ritme di atas.
Saya rasakan pagi demikian
ramah pada otak. Saya mudah belajar
dan mengerjakan tugas-tugas yang
membutuhkan kosentrasi. Wajar ada
anjuran menghafal Alquran di pagi
hari, saat semua masih hening dan
jernih. Berkah pagi.
Kini jika ada ibu muda yang
kesusahan mengurus anak sehingga
sering ketinggalan kajian, saya agak
sulit membayangkan alasannya.
Dengan jarak berkereta 7 jam dari
Skotlandia, bersama bayi, saya masih
ikut kajian rutin di Manchester. Tujuh
jam berkereta. Lebih 14 jam dalam
perjalanan bolak-balik. Bagaimana
mungkin kajian yang hanya naik
angkot, masih satu kecamatan, susah
dilakukan?
Saya curiga memang keterampilan
mengatur waktu yang masih rendah.
Sepertinya mereka perlu kuliah S2 dulu
di Skotlandia dengan anak dua. Insya
Allah akan terlatih. <>