My first Magazine hadila september | Page 16

FOKUS UTAMA MAIMON HERAWATI Dosen Universitas Padjadjaran Bandung Dulu banyak yang berkata, nanti para gadis ini akan mengerti betapa sangat berharganya masa jelong-jelong kala muda. Jika sudah menikah, waktu bukan milikmu lagi. Apalagi sudah memiliki anak. Wassalam segala santei di pantei. Nikmati, kata mereka, selagi bisa. Kalimat itu hanya saya senyumi. Satu, karena saya saat itu sudah super sibuk. Pergi pagi dari kos, pulang pagi lagi. Maklum sedang berkarier sebagai mahasiswi aktivis. Dua, karena saya sudah terbiasa dengan ritme calon wartawan dengan lagu kebangsaan ‘begadang aku begadang.’ Paling, sesekali curi waktu untuk istirahat siang. Jadi, apanya yang akan dinikmati? Ketika menikah, punya anak di negeri orang, sambil kuliah S2 full time, di situ saya paham keharusan mengejar berkah pagi. Anak kedua usia 5 bulan, yang pertama 2 tahun 3 bulan, kuliah dari pagi sampai sore. Masih memberi ASI tanpa makanan tambahan. Suami juga sedang pendidikan S3. Tanpa restoran siap saji, tanpa pembantu. Apa akal? Kami mencari rumah yang terjangkau dompet, tak jauh dari kampus. Jika berlari pulang, 15 menit sampai lah. Lari ya. Maka ritme kehidupan saya seperti ini: berangkat kuliah pukul 08.45; selesai kelas pertama lari ke rumah; susui anak kedua, beri botol susu anak pertama sambil bawa mereka tidur siang; mereka tertidur, saya berlari ke kelas kedua sampai pukul empat lebih; sore pulang ke rumah; ambil alih anak, suami ke ruang kerja, melanjutkan riset computing chemistry-nya. 16 | |September 2018 | Edisi 135 Masa siang itu bagi saya mirip masa kecebur di laut tanpa pelampung; asal tidak tenggelam. Pokoknya asal bisa bernapas saja. Malam, biasanya tepat dini hari bangun. Jam 12 itu, antara hari kemarin dan esok, saya mengerjakan persiapan hidup esoknya. Memasukkan cucian ke mesin, masak nasi bubur untuk balita, memasak lauk untuk suami, jemur kain basah dan lipat yang kemarin. Semua itu disambi dengan membaca literatur, menulis tugas. Sampai Subuh. Begitu pukul enam, saya milik dua anak kecil itu. Dan berulang kembali ritme di atas. Saya rasakan pagi demikian ramah pada otak. Saya mudah belajar dan mengerjakan tugas-tugas yang membutuhkan kosentrasi. Wajar ada anjuran menghafal Alquran di pagi hari, saat semua masih hening dan jernih. Berkah pagi. Kini jika ada ibu muda yang kesusahan mengurus anak sehingga sering ketinggalan kajian, saya agak sulit membayangkan alasannya. Dengan jarak berkereta 7 jam dari Skotlandia, bersama bayi, saya masih ikut kajian rutin di Manchester. Tujuh jam berkereta. Lebih 14 jam dalam perjalanan bolak-balik. Bagaimana mungkin kajian yang hanya naik angkot, masih satu kecamatan, susah dilakukan? Saya curiga memang keterampilan mengatur waktu yang masih rendah. Sepertinya mereka perlu kuliah S2 dulu di Skotlandia dengan anak dua. Insya Allah akan terlatih. <>