FOKUS UTAMA
dengan ungkapan syukur atau doa
saja. Syukur tidak sempurna jika tidak
dibuktikan. Maka kita harus membalas
segala nikmat dengan memperbanyak
memuji-Nya (berzikir kepada-Nya). Kita
balas dengan ketaatan, sehingga setelah
bangun kita menyembah-Nya, salat.
Lalu, Rasulullah menganjurkan
kepada kita untuk tetap berada di
tempat duduk setelah Salat Subuh.
Beliau bersabda, “Barang siapa yang
melaksanakan Salat Subuh secara
berjamaah lalu dia duduk sambil berzikir
pada Allah hingga matahari terbit,
kemudian dia melaksanakan salat dua
rakaat, maka dia seperti memperoleh
pahala haji dan umrah. Pahala yang
sempurna, sempurna, dan sempurna.”
[H.R. Tirmidzi]
Salat dua rakaat yang dilakukan
setelah matahari terbit disebut Salat
Sunah Syuruq, atau sebagian ulama
menyebutnya Salat Duha yang
dilakukan di awal waktu.
Inilah amalan yang sebaiknya
dilakukan diwaktu pagi. Jadi,
Rasulullah selalu berangkat jamaah
Subuh saat gelap, lalu pulang saat
terang. Ini bukan berarti Rasulullah
malaksanakan Salat Subuh lama, dari
gelap sampai terang, tetapi yang lama
adalah beliau duduk dan berzikir.
Ada ungkapan ketika seseorang
terlalu banyak tidur di pagi hari,
maka rezekinya akan hilang.
Bagaimana pendapat Ustaz?
Ketika Allah sudah menghidupkan
kita setelah ‘mematikan’. Maka,
jangan matikan lagi diri kita dengan
tidur setelah Subuh. Ini sebuah
malapetaka. Mestinya, setelah bangun
kita mensyukuri nikmat Allah,
beribadah kepada-Nya, berbuat baik
kepada manusia, bekerja (mencari
nafkah), mencari ilmu, dan lain-lain.
Lha kok malah tidur, berarti tidur telah
menutup pintu rezeki. Padahal saat
itu Allah membukakan pintu rezeki,
tetapi kita malah menutupnya. Maka
orang zaman dulu bilang kalau kita
bangunnya terlambat, “rezekimu sudah
dipatok ayam.”
Tidur setelah Subuh sama artinya
dengan tidak mensyukuri nikmat
Allah, dia juga tidak menjalankan
fungsinya sebagai khalifah, sehingga
keberkahan Allah hilang. Padahal
Rasulullah telah berdoa agar Allah
senantiasa memberi keberkahan
kepada umatnya di waktu pagi, “Ya
Allah berilah keberkahan kepada umat-
umatku, pada waktu pagi mereka.” [H.R.
Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa’i,
Ibnu Majah] Jadi betapa ruginya orang
yang tidur di waktu pagi.
Dalam kehidupan rumah tangga,
bagaimana cara membagi tugas antara
suami dan istri agar bisa menjalani
pagi dengan baik—tidak kemrungsung,
karena biasanya ada banyak hal yang
harus disiapkan?
Hal ini sangat conditional,
tergantung kondisi rumah tangga
masing-masing—keahlian masing-
masing suami-istri, ketersediaan waktu
yang dimiliki suami-istri.
Kalau dalam rumah tangga yang
bekerja suami, apalagi tempat kerjanya
jauh, tentu tidak bisa dilakukan
pembagian kerja rumah tangga secara
fifty-fifty, sebab di sini istri jauh lebih
longgar. Begitu pun dengan sebaliknya,
jika dalam struktur rumah tangga
yang bekerja adalah istri, tentu tidak
mungkin istri dapat menangani
semuanya.
Jadi tidak ada patokan tertentu
yang harus dilakukan. Semua
bergantung pada kondisi keluarga
masing-masing, siapa yang lebih
memungkinkan dan bisa melakukan,
maka dia yang melakukan. Intinya
adalah komunikasi yang baik antara
suami dan istri. Jika tidak ada
komunikasi, maka akan bahaya.
Keduanya akan saling menuntut, dan
hal ini dapat memicu konflik rumah
tangga.
15 |
September 2018 | Edisi 135