Media Informasi Kemaritiman Cakrawala Edisi 417 Tahun 2013 | Page 65
Daerah penangkapan udang di Laut Arafuru
yang terkenal sebagai Golden Fishing Ground tentu
menjanjikan lumbung ekonomi yang kaya raya.
Laut Banda yang menjadi lintasan perpindahan
ikan tuna antara Samudra Pasifik dan Samudra
Indonesia, memberikan peluang perikanan laut
dalam yang menguntungkan. Untaian pantai
yang panjang dan iklim tropis yang tak berubah
sepanjang tahun, memberikan kesempatan untuk
membudidayakan mutiara, kerapu, dan rumput
laut yang menggiurkan. Di hamparan pedesaan
pesisir, dioptimalkan budi daya udang, nila,
bandeng dan lain-lain unuk pasar domestik yang
terbukti menangguk keuntungan.
Namun
walau
dalam
mimpi,
realitas
permasalahan tetap menghantuiku. Pada banyak
lokasi, eksploitasi telah mendera daya dukung
potensi perairan yang mulai menipis. Karena
ketidaktahuan, penanganan di kapal, pelabuhan,
dan pasar, banyak yang masih jauh dari kaidah
bersih dan sehat. Karena harga es di negeri yang
panas ini masih dianggap mewah, maka rantai
dingin sungguh sulit untuk diwujudkan.
Memandang potensi dan permasalahan seperti
itu, dalam mimpiku seakan aku menafsirkan
arti revitalisasi perikanan sebagai hal yang
berbeda dengan yang selama ini kudengar di
alam sadar. Dalam mimpi seakan aku ingin untuk
menghidupkan kembali perikanan, semua pihak
harus memfokuskan upaya pada pengendalian
penangkapan ikan, agar perairan kita tidak
babak belur dan makin gersang oleh kelebihan
tangkap. Budi daya mesti dikembangkan secara
cerdas dan cermat, segenap lekuk pesisir dapat
termanfaatkan tanpa kebablasan yang akan
membebani daya dukung lingkungan. Secara
serius dilakukan pemaksaan, dibarengi pembinaan
dan pendampingan untuk meningkatkan mutu
penanganan dan pengolahan hasil perikanan.
Padahal, yang selama ini aku dengar dan baca,
revitalisasi perikanan adalah pengembangan
industri tuna. Pengembangan rumput laut yang
pasar globalnya sering tampak sumpek. Serta
pengembangan udang, yang secara teoritis
memberikan banyak harapan.
Politisi Merah Putih.
Pada saat saya mencoba menulis sikap yang
kedua, dalam mimpiku seakan layar laptopku
berubah menjadi merah dengan huruf berwana
putih. Sikap yang kedua ini berangkat dari realitas
bahwa bangsa ini terdiri dari berbagai unsur yang
beragam. Aneka suku, adat, budaya, agama,
politik dan sebagainya. Sikap yang diperlukan
ialah memandang semua perbedaan menjadi
karunia Tuhan yang harus disyukuri. Toleransi
ditumbuhkan, kebersamaan sang Garuda:
Bhinneka Tunggal Ika. Dalam teori sosiologi ibarat
Salad Bowl, yang memadukan berbagai unsur
menjadi indah, dengan tetap memiliki jati diri
masing-masing. Tidak menciptakan Melting Pot,
yang melebur menjadi satu entitas baru, dengan
menghilangkan wujud asli masing-masing.
Ketiga, terlintas dalam panggung kompetisi
antar bangsa. Di samping kebersamaan harus
dijalin, Indonesia Incorporated harus diwujudkan.
Pemerintah, masyarakat dan pengusaha harus
menjalin kepercayaan, tidak boleh basa-basi,
apalagi saling buruk sangka. Yang perlu dihadapi
bersama, tiada lain adalah persaingan antar
bangsa dan infeksi kemiskinan.
Keempat adalah memahami bahwa penduduk
bangsa kita masih banyak yang berada dalam
kesulitan ekonomi dan keterbelakangan sosial.
Politisi dan para pejabat harus mengubah sikap.
Keberpihakan harus ada, keikhlasan kerja
mestilah nyata. Para tokoh tak boleh hanya di atas
panggung sandiwara, para birokrat tak layak hanya
di belakang meja. Masyarakat diajak berbincang,
upaya dimusyawarahkan, kebesaran hati harus
dibuka untuk mendapatkan solusi bersama.
Politisi Hijau.
Saya dibuat kaget. Waktu menulis sikap yang
kelima, mendadak layar laptopku berubah warna
menjadi hijau. Siapa pun tak ragu, sebagai untaian
zamrud di khatulistiwa, alam negeriku berlimpah
ragam, beraneka hewan dan tumbuhan. Subur
tersebar mengungguli negeri lain. Berkah Tuhan
ini harus disikapi melestarikannya. Pemanfaatan
untuk kesejahteraan, tidak boleh sekaligus
memusnahkannya. Keserakahan diri harus
diperangi untuk memberi kehidupan di masa
depan.
Yang keenam, aku pahami negeri ini dibelit
penyakit korupsi. Keserakahan memiskinan anak
negeri, ketidakpastian menjadi penolak investasi.
Sikap jelas politisi tiada lain, korupsi harus
dihabisi. Lantaran penyakit sangatlah kronis, tak
mungkin hanya digarap pada aspek yuridis saja.
Bisa jadi malah orang yang lugu, yang tak mahir
bermain korupsi, yang terpilih masuk jeruji besi.
Cakrawala Edisi 417 Tahun 2013
65