Media Informasi Kemaritiman Cakrawala Edisi 417 Tahun 2013 | Page 41

oleh pemerintah pusat. Bukankah selama 68 tahun kita merdeka telah berkali-kali mengalami konflik berdarah kedaerahan yang ujung-ujungnya ingin memisahkan diri dari NKRI. Daerah merasa dianak-tirikan dalam pembangunan nasional, anak suku (putra daerah) merasa tidak diwongke. Sebagian besar dari daerah, ada suku yang tidak puas itu berada di kawasan Indonesia Timur, di mana kemaritiman negeri kita sungguh menonjol. Pandangan land-based kita selama ini, secara tidak sadar, sangat dipengaruhi oleh Belanda yang menganggap “pulau-pulau Indonesia Timur” sebagai het verleden (masa lalu), “pulau Jawa” sebagai het heden (masa kini) dan “pulau Sumatera” de toekomst (masa depan). Dari sudut pandang Belanda (penjajah) pandangan ini memang tepat, lebih-lebih secara historis. Bukankah penjajahannya mulai dari wilayah timur archipelago yang kaya dengan rempah-rempah. Setelah puas menikmati semua itu, Belanda (dalam hal ini V.O.C.) mulai memastikan cengkeraman kolonialnya di bumi Jawa sambil menatap ke arah Sumatera sebagai bumi cadangan pemerasannya. Namun Jepang menamatkan impian imperialis Belanda tersebut. Setelah Belanda dan Jepang angkat kaki, para pemimpin kita di masa pasca kemerdekaan kok meneruskan, sungguh aneh, impian Belanda. Mungkin bila kita renungi hal ini tidak mengherankan karena setelah Belanda berhasil sepenuhnya menguasai Indonesia, satu hal yang ia lakukan secara konsisten, sistematik, dan kontinyu adalah “mematikan” semangat maritim bangsa kita begitu rupa, hingga Akademi Angkatan Laut Belanda (den Helder) tetap menolak “kadet inlander” sampai di akhir masa penjajahannya, sedangkan Akademi Angkatan Daratnya (Breda) sudah bersedia menampung anak jajahannya. Sementara di perairan intern Indonesia, pemerintahan kolonial Belanda alih-alih memodernisasi usaha pelayaran anak-anak pribumi, yang menggunakan perahu-perahu layar tradisional, malah secara sistematik memojokkannya dengan usaha resmi (pemerintahan) berupa pelayaran antarpulau (paketvaart) dengan kapal-kapal modern. Kebijakan destruktif ini, jauh lebih aneh, bahkan diteruskan oleh pemerintah nasional. Di zaman Orba dan Reformasi teknologi modern bukan diterapkan di bidang kelautan tetapi kedirgantaraan. Nenek moyang kita adalah pelaut-pelaut tangguh, pernah berjaya di lautan. Kita pemah punya laksamana perempuan, Malahayati, yang sanggup menghalau armada perang Portugis yang ketika itu merupakan negara adikuasa zamannya. Pelaut Inggris mengakui dan mengagumi ketangguhan kekuatan laut Kerajaan Ternate di perairan Indonesia Timur. Pelaut Portugis yang diakui sebagai orang pertama yang berhasil mengelilingi dunia di awal Abad XVI, Ferdinand Nagellan, konon menggunakan seorang pelaut Ambon sebagai navigator kapal layarnya, di log-book kapal dia dicatat sebagai “orang India” karena di zaman itu orang Eropa menyebut penduduk asli Asia “India” (Indos). Saya ngomong begini bukan memanjakan Angkatan Laut, tapi konsekuensi dari geografi Indonesia-lah yang mengharuskan TNI AL paling depan. Demikian gelora semangat Bapak Daoed Joesoef menggebu-gebu. (disarikan dari sambutan Bapak Daoed Joesoef Alumnus Universite Pluridisciplinaires Pantheon-Sorbonne). ©Disarikan oleh Kolonel Laut (P) R. Turangan