Media Informasi Kemaritiman Cakrawala Edisi 417 Tahun 2013 | Page 40

OPINI 40 perlu waktu berhari-hari untuk membahasnya sampai tuntas. Mengingat waktu yang tersedia bagi uraian saya sangat terbatas, akan saya batasi pemahaman pada dua nilai saja, yang semakin memudar hingga di sana-sini semakin mengalami distorsi sebelum berisiko lenyap sama sekali, dilupakan begitu saja. Sedangkan budaya sering diartikan sebagai segala sesuatu yang masih melekat dalam ingatan dan masih diulang-ulang dalam perbuatan. Adapun kedua nilai tersebut adalah, natur kemaritiman bagian bumi yang kita diami sebagai milik sakral bersama, dan kewarganegaraan (citizenship). Kemaritiman Tanah Air. Sejauh mengenai nilai dari natur kemaritiman bagian bumi yang kita diami, yang merupakan milik sakral bersama, yang dianugerahkan alam kepada kita dan adalah warisan turuntemurun kita, sungguh memprihatinkan. Adalah keterlaluan sekali bahwa setelah 68 tahun merdeka, orang-orang Indonesia, termasuk yang terdidik, semakin mengabaikan makna sejati dari archipelago. Archipelago Indonesia, yang terbesar dari jenisnya di dunia, dahulu biasa disebut “Nusantara”, yang tanpa penjelasan lebih lanjut bisa dan telah menimbulkan salah pengertian. Sejatinya ia bukan bermakna “pulau-pulau yang dikelilingi oleh air “tetapi” air yang penuh bertaburkan pulau-pulau besar dan kecil”. Maka “air” di sini bukan berhakikat “memisah”, tetapi “menghubungkan”, “menautkan” satu sama lain. Jadi kalaupun ada biduk lalu yang memisah, setelah biduk tadi lewat, pulau-pulau itu, by its very nature, akan “menyatu” kembali. Sudah tentu perumpamaan ini bukan dalam artian harfiah, tetapi kiasan (figuratif). Kalau kita terus-menerus mengabaikan kesejatian dari the archipelago meaning ini, tentu air (lautan) yang mengelilingi pulau-pulau nusantara akan menjadi “pemisah”, bukan “pemersatu”. Dan gambaran inilah yang semakin jelas terjadi sebagai akibat kelalaian kita selama ini, selama 68 tahun terus-menerus. Alih-alih berpandangan matitime-based, benak (mindset) kita menempa konsepsi land-based. Para pendiri bangsa memprediksi kemerdekaan nasional bakal kian meneguhkan persatuan dan kesatuan bangsa melalui pandangan maritime-based. Hal ini terbukti dengan salah satu ikrar yang mereka pilih untuk diucapkan sebagai jalan menyiapkan mental bangsa ke arah tersebut. Dalam aksi “Sumpah Pemuda” di tahun 1928, pemuda-pemudi kita jelas menyatakan bahwa mereka “Bertanah air satu”, yaitu “Tanah Air Indonesia”. Namun setelah merdeka, kita, generasi penerus, malah bermental land-based. Berhubung segala perbuatan berawal dari dalam dan dari pikiran, maka pembangunan sosio-ekonomi yang dilakukan sebagai pengisi kemerdekaan, menjadi suatu perbuatan landbased, demikian pula pembangunan pertahanan dan keamanan. Soal ketahanan nasional ini perlu dikemukakan secara eksplisit mengingat Tanah Air kita luar biasa kaya. Tidak hanya bumi dari pulau-pulaunya mengandung aneka ragam sumber daya alam, tetapi juga lautannya. Air dari lautan ini tidak hanya mengandung garam dan ikan, tetapi juga macam-macam mineral yang diperlukan sebagai bahan baku aneka kegiatan industrial. Di dasar lautan