Media BPP Februari 2016 Vol 15 No 1 | Page 8

Agustus 2013 ada 171 jurnal ilmiah yang telah terakreditasi. Hampir seluruh jurnal pada saat itu diterbitkan secara cetak, dan hanya beberapa yang sudah menerapkan elektronik.
Mengapa akreditasi penting?
Tim Media BPP menyambangi beberapa kementerian dalam peliputan ini, di antaranya adalah Kementerian Agama, Kementerian Riset dan Teknologi, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, serta Kementerian Keuangan. Mereka yang kami temui sepakat jika jurnal akreditasi menjadi penting untuk menentukan kualitas suatu jurnal.
Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama, Prof. Dr. Abdul Rahman Mas’ ud mengatakan, ada tiga hal yang membuat jurnal terakreditasi itu penting.“ Pertama supaya ada standarisasi, yang kedua menjaga kualitas penulisan agar orang tidak seenaknya sendiri, ketiga sebagai kompetisi si penulis untuk berlomba-lomba diterbitkan di jurnal,” kata Mas’ ud.
Jurnal terakreditasi juga menjadi syarat angka kredit bagi peneliti, pegawai negeri, atau dosen yang ingin naik jabatan. Menurut Moh. Ilham A Hamudy, Kepala Sub Bagian Perpustakaan, Informasi, dan Dokumentasi BPP Kemendagri, jurnal nasional yang terakreditasi memiliki angka kredit 25, sedangkan yang tidak terakreditasi hanya bernilai 5.“ Jika seorang pegawai negeri ingin cepat naik pangkat, maka dia tentu akan berlomba menulis di jurnal yang sudah terakreditasi, karena selisih angka kreditnya jauh sekali dengan yang belum terakreditasi,” ungkapnya.
Semakin banyak, mereka yang menuliskan di jurnal terakreditasi, semakin cepat mereka naik jabatan. Apalagi jika mereka menuliskannya
Abdul Rahman Mas’ ud Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama
di Jurnal Internasional bereputasi maka dengan angka kredit 40.
Sebenarnya menurut Wahid, hanya di Indonesia saja lah jurnal harus terakreditasi.“ Orang luar negeri tidak mengenal akreditasi. Akreditasi hanya ada di Indonesia. Mengapa Indonesia harus akreditasi? Karena untuk menyesuaikan ketentuan jurnal seluruh dunia. Kita itu mengadopsi ketentuan internasional agar para peneliti Indonesia memunyai standar dalam penelitian,” jelas Wahid.
Permasalahan Jurnal Akreditasi
Bagi sebagian lembaga litbang, atau perguruan tinggi mendapatkan jurnal terakreditasi tidaklah mudah. Bahkan tidak sedikit lembaga penerbitan jurnal dikatakan‘ mandeg’, atau‘ antara ada dan tiada’. Data LIPI mencatat, tiap tahun ada sekira 7.000 jurnal yang diterbitkan dari seluruh Indonesia, namun hanya ada 300 jurnal yang terakreditasi. Itu artinya hanya 4,3 persen jurnal di Indonesia yang telah terakreditasi.
“ Ada banyak sekali faktor, mengapa banyak jurnal tidak terakreditasi. Tapi ada dua hal pokok yang biasanya kami temukan. Pertama masalah manajemen pengelola jurnal dan masalah kepenulisan,” kata Wahid.
Konsistensi manajemen pengelola jurnal menjadi taruhan utama sebuah jurnal bisa terus produktif dan berkualitas. Masalah kebijakan lembaga induk penerbit jurnal itu biasanya terkait proses administrasi penerbitan.“ Biasanya mereka tidak punya dewan editor yang credible, sementara syarat dewan editor minimal harus memunyai karya tulis. Kedua, tidak mendapatkan reviewer( mitra bestari) yang kompeten di bidang keilmuannya, syarat penilaian kami reviewer harus orang yang pernah nulis buku dan harus terindeks di Scopus. Lalu, tidak ada SDM yang konsisten mengembangkan jurnal,” jelas Wahid.
Rupanya saat kami telusuri, permasalahan reviewer yang tidak credible ini juga dilatarbelakangi mas-
8 | mediaBPP | Februari 2016