Media BPP Februari 2016 Vol 15 No 1 | Page 52

sebagaimana biasanya oleh Kecamatan Jailolo . Hal ini karena bersamaan dengan pemberlakuan PP tersebut , terjadi konflik kekerasan di wilayah Malut dalam kurun waktu 1999-2000 .
Ketika terjadi pemekaran daerah otonom melalui UU No 1 Tahun 2003 , wilayah enam desa yang telah dialihkan ke dalam Kecamatan Malifut , masuk dalam wilayah Kabupaten Halut . Hal ini kemudian dipersoalkan oleh Kabupaten Halbar selaku kabupaten induk . Pemerintah Kabupaten Halbar dengan pertimbangan de facto tetap mengklaim wilayah enam desa . Dukungan ini semakin diperkuat dengan munculnya Surat Permohonan No 03 / KSP / 2003 , tanggal 8 November 2003 ( ditandatangani oleh enam kepala desa ) kepada Bupati Halbar , yang menginginkan untuk tetap menjadi bagian dari Kabupaten Halbar .
Selanjutnya ,
Pemerintah Kabupaten Halbar meneguhkan permohonan itu dengan menerbitkan Perda No 6 Tahun 2006 tentang Pembentukan Kecamatan Jailolo Timur di mana keenam desa tersebut yaitu Desa Bobaneigo , Akelamo Kao , Tetewang , Akesahu , Dum Dum , dan Pasir Putih termasuk di dalamnya .
Saling mempertahankan
Di sisi lain , Pemerintah Kabupaten Halut juga berpegang pada aspek de jure ( PP No 42 Tahun 1999 dan UU No 1 Tahun 1999 ). Berbagai upaya ditempuh oleh kedua pemerintah kabupaten untuk mempertahankan wilayah enam desa , bahkan kedua unsur pemerintah daerah ( Bupati / Wakil Bupati dan DPRD ) saling memberikan dukungan sesuai kapasitas yang dimiliki . Hal ini diwujudkan dengan terbitnya Perda No 1 Tahun 2006 tentang Pembentukan Desa-desa di Kabupaten Halut dan Perda No 2 Tahun 2006 tentang Pembentukan Kecamatan-kecamatan di Kabupaten Halut .
Selain itu , Surat Menteri Dalam Negeri No 136 / 461 / PUM tertanggal 28 Juni 2005 tentang Penyelesaian Status 6 Desa ; Surat Menteri Dalam Negeri No 146 / 1191 / SJ tertanggal 7 Juni 2006 tentang Penegasan Status Wilayah 6 Desa ; Surat Menteri Dalam Negeri No 146.3 / 111 / SJ tertanggal 15 Januari 2010 perihal Penegasan Status Wilayah
Desa Bobaneigo , salah satu desa yang terlibat dalam kisruh antardesa di Kabupaten Halmahera Barat
6 Desa dan Surat Menteri Dalam Negeri No 140 / 115 / PUM tertanggal 15 Januari 2013 perihal Status Wilayah Administrasi 6 Desa tidak berjalan efektif sebagaimana diharapkan , kalau tidak mau dikatakan diabaikan oleh Pemerintah Provinsi Malut , Pemerintah Kabupaten Halut , dan Pemerintah Kabupaten Halbar .
Pokok persoalan lainnya adalah masalah keberadaan PT Nusa Halmahera Minerals ( NHM ). Daerah eksploitasi emas PT NHM berada pada wilayah Kecamatan Kao Teluk , Kabupaten Halut yang secara yuridis enam desa masuk di dalamnya . Oleh karenanya , pendapatan daerah dari produksi tambang emas PT NHM masuk ke dalam kas Kabupaten Halut , sementara dana Comdev / CSR diberikan kepada warga yang masuk ke dalam sistem adminsitrasi kependudukan Kabupaten Halut . Demikian halnya dengan proses rekruitmen tenaga kerja lokal , di mana PT NHM hanya mau merekrut pekerja ( rendahan ) yang memiliki identitas kependudukan ( KTP ) Kabupaten Halut .
Persoalan muncul ketika sebagian besar masyarakat enam desa menolak masuk ke dalam administrasi kependudukan Kabupaten Halut . Karena mereka hanya memiliki KTP Kabupaten Halbar , maka dengan sendirinya mereka tidak dapat bekerja di PT NHM serta tidak mendapat jatah dana Comdev / CSR sungguh pun mereka tinggal di kawasan tambang yang sama-sama mendapatkan eksternalitas dari kegiatan produksi pertambangan . Kondisi ini terjadi semenjak 2006 ketika kedua pemerintah kabupaten mengeluarkan peraturan daerah tentang status enam
52 | mediaBPP | Februari 2016