Pada 9 Desember lalu , Indonesia kembali merayakan pesta demokrasi dalam Pemilihan Kepala Daerah Serentak . Pilkada serentak yang banyak dipertanyakan oleh masyarakat mengenai persiapan dan kesuksesannya menjadi harapan sekaligus kecemasan bagi bangsa Indonesia . Perjalanan panjang yang rumit dan tidak mudah akhirnya memutuskan sebuah kesepakatan yang tertulis dalam UU No . 8 Tahun 2015 . Proses legalisasi yang tarik-ulur , dan alot itu diceritakan dengan detail dalam buku yang ditulis langsung oleh Menteri Dalam Negeri , Tjahjo Kumolo .
Dalam buku ini Tjahjo menuliskan perdebatan panjang antara kubu KIH ( Koalisi Indonesia Hebat ) yang memperjuangkan pilkada langsung dan kubu KMP ( Koalisi Merah Putih ) yang menyarankan pilkada tak langsung ( dikembalikan ke DPRD ). Tentunya , perjuangan ini bukan tanpa hasil . Hampir lima tahun pembahasan ini bergulir . Pada 2010 , pembahasan revisi terhadap UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ( Pemda ) telah dilakukan pemerintah dan DPR , bahkan sejak setahun setelah DPR Pemilu 2009 dilantik . Terjadi perubahan klausul substansial yang menimbulkan beberapa kali masa sidang . Perbedaan pendapat terjadi bukan hanya di antara Kementerian Dalam Negeri dengan DPR , bahkan di internal DPR pun terjadi perbedaan pendapat di antara fraksifraksi dewan .
Di akhir masa jabatan DPR periode 2009-2014 atau tepatnya lima hari sebelum DPR periode 2014-2019 dilantik , parlemen menetapkan RUU Pilkada menjadi UU Pilkada yang menyatakan pemilihan kepala daerah dikembalikan ke DPRD . Tentu hal ini mendapatkan banyak protes dan kritik dari masyarakat , sebab DPR dianggap telah merampas suara rakyat untuk menentukan kepala daerahnya sendiri . Beruntung , di akhir jabatannya presiden Susilo Bambang Yudhoyono ( SBY ) mengeluarkan Perppu ( Peraturan Presiden Pengganti Undang-undang ). Yakni Perppu No 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur , Bupati , dan Walikota . Perppu itu sekaligus mencabut UU No 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan
50 | mediaBPP | Februari 2016
Gubernur , Bupati , dan Walikota sebagai konsekuensi penetapan Pilkada Langsung , yang akhirnya menjadi dasar legalitas dalam pilkada serentak saat ini .
Dalam perjalanannya , Perppu itu akhirnya disahkan dalam UU No 8 Tahun 2015 yang salah satunya mengeluarkan butir ‘ g ’ membahas mengenai formulasi ulang tahapan Pilkada Serentak yang dibagi dalam tiga gelombang . Gelombang pertama dilaksanakan pada Desember 2015 ( untuk akhir jabatan 2015 dan semester pertama tahun 2016 ) yang meliputi 9 provinsi ( 260 kabupaten / kota ), Gelombang Kedua pada Febuari
2017 ( untuk yang akhir masa jabatan semester kedua tahun 2016 dan seluruh akhir masa jabatan 2017 ) yang meliputi 8 provinsi ( 94 kabupaten / kota ), dan Gelombang Ketiga dilaksanakan pada Juni 2018 ( untuk yang akhir masa jabatan 2018 dan akhir masa jabatan 2019 ) yang meliputi 17 provinsi ( 154 kabupaten / kota ). Sementara untuk serentak Nasional akan dilaksanakan tahun 2027 .
Pembagian menjadi tiga gelombang ini karena mempertimbangkan pemotongan periode masa jabatan yang tidak terlalu lama . Selain itu untuk menghilangkan kata ‘ spontan ’. Coba pikirkan baik-baik , pilkada serentak pada Desember lalu , memilih 269 kepala daerah terdiri dari 9 provinsi , 36 kota , dan 224 kabupaten daripada memilih dalam waktu dua sampai tiga hari memilih 34 provinsi , 399 kabupaten , dan 98 kota ?
Namun sayangnya , tidak seperti pada judul buku “ Politik Hukum Pilkada Serentak ” dalam buku ini Tjahjo tidak menjelaskan masalah-masalah apa saja yang terjadi pada pilkada gelombang pertama . Seperti yang terjadi pada Pilkada di Kalimantan Timur dan daerahdaerah yang mengalami sengketa dalam Pilkada serentak 9 Desember lalu . Sehingga , semua pembaca tidak dapat belajar dari kekurangan pilkada serentak gelombang pertama .
Dalam bukunya , Tjahjo menjelaskan secara detail bagaimana perjalanan dan urgensi Pilkada Serentak ini sebagai suatu wujud memantapkan kembali arah demokrasi dengan kebebasan yang beradab dalam membangun budaya politik baru , dan meminimalisasi kecurangan dan politik uang , serta membatasi politik dinasti dengan harapan penguatan otonomi daerah . Tentunya , bukan tanpa menolak kritik , Tjahjo mengaku banyak kekurangan dan kelemahan dalam penyelenggaraan pilkada serentak . Tapi kekurangan ini harus tetap berjalan sambil terus saling menyempurnakan dan didukung penuh oleh semu lapisan masyarakat . ( IFR )